Halaman

Senin, 30 April 2012

Empat Orang Yang Dilaknat Allâh Ta'ala

(Hadist: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)

Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
hadist
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allâh man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]

SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya, dan yang hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur‘an dan Sunnah.
Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur‘an :
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‘an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)

Al-Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
“Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur‘an dan yang semisal dengannya”.
Al-Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :
(QS an Najm/53 : 3-4)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)

Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil bertanya :
“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),”
sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-Qur‘an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allâh Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda :
“Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”.
Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
hadist
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).

Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabda beliau :
“Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh”.
Bagaimana seseorang bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
(QS al An’am/6 : 162-163)
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)

Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :
(QS adz Dzariyaat/51 : 56-58)
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :
“Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh, maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allâh”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allâh.
Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al-muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam).
Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh, maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allâh serta diutus para rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu'anhu bahwasanya dia berkata :
“Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allâh Ta'ala telah berfirman tentang beliau :
(QS al Ahzab/33 : 21)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)

Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah (yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an Nuur : 54)
Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh Ta'ala, dan inilah hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta hak agama-Nya.
Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara keduanya dengan baik. Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,”
Para sahabat bertanya,
”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”,
Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :
“Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.
Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu.[2] Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar.
Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)
Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :
1. Hak Allâh
2. Hak Nabi
3. Hak nafs
4. Hak orang lain

Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain”
Maksudnya adalah seseorang yang melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadist
“Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”
Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih besar dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan”
Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda :
“Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau thaleh. Karena dengan akhlak yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak orang lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya (kepada kebenaran).[3]
(*)
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari – hafizhahullah di Masjid al-Akbar Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib dan Kholid Syamhudi, kemudian kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi.
Semoga bermanfaat. (Redaksi)
[1]
Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi.
[2]
Redaksi : Hal ini seperti yang dilakukan oleh harakiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allâh Ta'ala firmankan tentang mereka ini :
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya
dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa
mereka berbuat sebaik-baiknya”.
(Qs. al-Kahfi : 103-104)
[3]
Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi)

Minggu, 29 April 2012

MENYIKAPI PENGUASA YANG DHALIM – Tanya Jawab

 Oleh : Ustad  Abu Al-Jauzaa'

Tanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi pemimpin/penguasa yang dhalim dimana ia menjalankan pemerintahannya tidak sesuai tuntunan Islam dan menyia-nyiakan hak rakyat ?
Jawab : Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta’ala. Allah ta’ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرّسُولَ وَتَخُونُوَاْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” [QS. Al-Anfaal : 27].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah memberikan peringatan yang sangat keras bagi para pemimpin yang menyia-nyiakan amanah Allah dalam mengurus rakyatnya, sebagaimana sabdanya :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba pun yang mendapat amanah dari Allah untuk memimpin rakyat, lantas ia meninggal pada hari meninggalnya dimana keadaan mengkhianati rakyatnya kecuali Allah telah mengharamkan atasnya surga” [HR. Al-Bukhari no. 7150 dan Muslim no. 142].
Lantas, bagaimana sikap kita jika kita menemui pemimpin yang dhalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya ? Untuk menjawab hal ini, sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin dhalim ini sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam semenjak empatbelas abad silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan Daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِيْ عَلَى الْحَوْضِ
“Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat – AbuAl-Jauzaa’). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl”  [HR. Al-Bukhari no. 7057 dan Muslim no. 1845].
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/232].
عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبيه قال سأل سلمة بن يزيد الجعفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يَا نَبِيَّ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهمْ وَيَمْنَعُوْنَا حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فَأَعْرَضَ عَنْهُ ثُمَّ سَأَلَهُ فِي الثَّانِيَةِ أَوْ فِي الثَّالِثَةِ فَجَذَبَه اْلأَشْعَثُ بْنِ قَيْسِ وَقَالَ اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهمْ مَا حَمَلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حَمَلْتُمْ
Dari ‘Alqamah bin Wail Al-Hadlrami dari ayahnya ia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju’fiy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai Nabiyullah, bagaimana pendapatmu jika kami punya pemimpin yang menuntut pemenuhan atas hak mereka dan menahan (tidak menunaikan) hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya, dan Salamah kembali mengulangi pertanyaannya. Dan hal itu berulang hingga dua atau tiga kali. Kemudian Al-Asy’ats bin Qais menariknya (Salamah). Dan akhirnya beliau menjawab : “(Hendaklah kalian) mendengar dan taat kepada mereka. Karena hanyalah atas mereka apa yang mereka perbuat dan atas kalian apa yang kalian perbuat” [HR. Muslim no. 1846].
Hadits di atas merupakan jawaban yang sangat gamblang bagi para pecinta Sunnah (Ahlus-Sunnah), yaitu tetap sabar atas kedhaliman penguasa serta tetap mendengar dan taat kepada mereka dalam perkara-perkara yang ma’ruf.[1] Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكرَهَ إِلا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أَمَرَ بِمَعْصِيَّةٍ فَلا سَمْعَ وَلا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat kemaksiatan. Apabila ia menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [HR. Al-Bukhari no. 2955,7144; Muslim no. 1839; Tirmidzi no. 1707; Ibnu Majah no. 2864]. [2]
Al-‘Allamah Al-Mubarakfury berkata :
وفيه : أن الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب . قال المطهر على هذا الحديث : (( يعني :سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم، سواء أمره بما يوافق طبعه أو لم يوافقه، بشرط أن لا يأمره بمعصية فإن أمره بها فلا تجوز طاعته لكن لا يجوز له محاربة الإمام ))
“Dalam hadits ini (yaitu Sunan At-Tirmidzi no. 1707) terkandung tuntutan bahwa jika imam/pemimpin itu memerintahkan untuk mengerjakan amalan sunnah atau mubah, maka wajib untuk melaksanakannya. Al-Muthahhar mengomentari hadits ini : ‘Yaitu bahwa mendengar ucapan penguasa dan mentaatinya adalah perkara wajib bagi setiap muslim, baik dia memerintah kepada apa yang sesuai dengan tabiat muslim tersebut atau tidak. Syaratnya adalah penguasa tersebut tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika penguasa memerintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh mentaatinya (dalam perkara maksiat tersebut), namun juga tidak boleh membangkang/memerangi penguasa tersebut” [Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 5/365, Cet. As-Salafiyyah, Madinah].
Al-Harb berkata dalam kitabnya Al-‘Aqidah dengan menukil perkataan dari sejumlah ulama salaf :
وإن أمرك السلطان بأمر فيه لله معصية فليس لك أن تطعه البتة وليس لك أن تخرج عليه ولا تمنعه حقه
“Jika sulthan (penguasa) memerintahkanmu tentang satu perkara kemaksiatan di sisi Allah, maka tidak ada ketaatan bagimu kepadanya. Akan tetapi, engkau juga tidak boleh keluar dari ketaatannya dan menahan haknya” [Lihat Haadil-Arwaah oleh Ibnul-Qayyim hal. 401].
Dan inilah contoh praktek nyata dari salah satu Imam kaum muslimin, yaitu Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ketika terjadi fitnah di masanya. Ketika itu semarak pemahaman kufur Mu’tazillah dan Jahmiyyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Para penguasa banyak menumpahkan darah dan memenjarakan para ulama dan kaum muslimin, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Kisah kesabaran dan sikap Imam Ahmad terhadap penguasa yang dhalim ini sudah sedemikian masyhur [3]. Al-Imam Hanbal rahimahullah mengisahkan :
أجتمع فقهاء بغداد في ولاية الواثق إلي أبي عبد الله – يعني الإمام أحمد بن حنبل – رحمه الله تعالي – وقالوا له: أن الأمر قد تفاقم وفشا – يعنون: إظهار القول بخلق القرآن، وغير ذلك ولا نرضي بإمارته ولا سلطانه !
فناظرهم في ذلك، وقال: عليكم بالإنكار في قلوبكم ولا تخلعوا يداً من طاعة، ولا تشقوا عصا المسلمين، ولا تسفكوا دمائكم ودماء المسلمين معكم وانظروا في عاقبة أمركم، واصبروا حتى يستريح بر، ويستراح من فاجر
وقال ليس هذا – يعني نزع أيديهم من طاعته – صواباً، هذا خلاف الآثار
“Para ahli fiqh Baghdad bersepakat menemui Abu ‘Abdillah – yaitu Imam Ahmad bin Hanbal – untuk membicarakan kepemimpinan Al-Watsiq (yaitu karena penyimpangan dan kedhalimannya terhadap hak-hak kaum muslimin). Mereka mengadu : “Sesungguhnya perkara ini telah memuncak dan tersebar, yaitu ucapan : Al-Qur’an adalah makhluk [4] dan perkara yang lainnya (yaitu kedhalimannya terhadap kaum muslimin). Kami tidak ridla dengan kepemimpinannya dan kekuasaannya”. Maka beliau (Al-Imam Ahmad) mendebat mereka dan berkata : “Wajib atas kalian mengingkarinya hanya dalam hati kalian. Janganlah kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan (kepada pemerintah), janganlah kalian memecah-belah persatuan kaum muslimin, janganlah kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Renungkanlah oleh kalian akibat yang akan ditimbulkan dari apa yang hendak kalian lakukan. Dan bersabarlah kalian sampai orang yang baik hidup tentram dan selamat dari orang yang jahat”. Lalu beliau melanjutkan : “Hal ini (yaitu keluar dari ketaatan penguasa/pemimpin) bukanlah suatu kebaikan. Ini adalah tindakan yang menyelisihi atsar” [Al-Adabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih juz 1 hal. 195,196. Kisah ini juga dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam As-Sunnah hal. 133].
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar kepada siapapun – termasuk kepada penguasa/pemimpin – sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma’ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat ; dan yang semisalnya.  Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari’at untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma’ruf pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila itu berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah. Imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum. Ini bukanlah prediksi fiktif tanpa bukti.....
Islam sebagai agama yang hanif telah memberikan kaifiyah (cara) menasihati dan beramar-ma’ruf nahi munkar kepada penguasa, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَّةً وَلَكِنْ لَيَأْخُذَ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menasihati sulthan (pemimpin kaum muslimin) tentang satu perkara, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangannya secara menyendiri (untuk menyampaikan nasihat). Bila sulthan tersebut mau mendengar nasihat tersebut, maka itu yang terbaik. Dan bila sulthan tersebut enggan (tidak mau menerima), maka sungguh ia (si penasihat) telah melaksanakan kewajibannya yang dibebankan kepadanya” [HR. Ahmad no. 15369, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096-1098, dan Al-Hakim no. 5269; shahih lighairihi].
Realisasi petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas tercermin dari apa yang dilakukan Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ketika banyak kaum muslimin terpengaruh hembusan fitnah kaum munafikin pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu, dimana beliau dan para pejabat yang mendampinginya dituduh telah banyak melakukan penyelewengan (dan sungguh jauh sangkaan mereka itu – Abu Al-Jauzaa’).
عن أسامة بن زيد قال قيل له ألا تدخل على عثمان فتكلمه فقال أترون أني لا أكلمه إلا أسمعكم والله لقد كلمته فيما بيني وبينه ما دون أن أفتتح أمرا لا أحب أن أكون أول من فتحه
Dari Usamah bin Zaid radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Seseorang berkata kepadanya : “Apakah engkau tidak menemui ‘Utsman (bin ‘Affan) dan menasihatinya ?”. Maka Usamah menjawab : “Apakah engkau memandang bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku perdengarkan di hadapanmu ? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya dengan empat mata. Sebab aku tidak akan membuka perkara (fitnah) dimana aku tidak menyukai jikalau aku adalah orang pertama yang membukanya” [HR. Al-Bukhari no. 7098 dan Muslim no. 2989]. [5]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata :
ولكنه ينبغي لمن ظهر له غلط الإمام في بعض المسائل أن يناصحه ولا يظهر الشناعة عليه على رؤوس الأشهاد بل كما ورد في الحديث أنه يأخذ بيده ويخلو به ويبذل له النصيحة ولا يذل سلطان الله وقد قدمنا في أول كتاب السير هذا أنه لا يجوز الخروج على الأئمة وإن بغوا في الظلم أي مبلغ ما أقاموا الصلاة ولم يظهر منهم الكفر البواح والأحاديث الواردة في هذا المعنى متواترة ولكن على المأموم أن يطيع الإمام في طاعة الله ويعصيه في معصية الله فإنه لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق.
“Akan tetapi, barangsiapa yang mengetahui kesalahan seorang imam (penguasa) dalam sebagian permasalahan, sudah selayaknya menasihati tanpa mempermalukannya di hadapan khalayak umum. Namun caranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits : “Hendaklah ia mengambil tangan penguasa itu dan mengajak berduaan dengannya, mencurahkan nasihat kepadanya, dan tidak menghinakan penguasa Allah”. Telah kami paparkan diawal buku As-Siyar bahwa tidak boleh memberontak kepada imam-imam (pemerintah) kaum muslimin walaupun mereka sampai berbuat kedhaliman apapun selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits yang diriwayatkan dengan makna seperti ini adalah mutawatir. Namun wajib bagi orang yang dipimpin untuk mentaati imam dalam ketaatan kepada Allah dan mendurhakainya bila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Sebab tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq” [As-Sailul-Jarar, hal. 965; Daar Ibni Hazm, Cet. 1].
Inilah petunjuk Nabawi tentang nasihat dan amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa muslim. Hadits di atas sekaligus sebagai penafsir hadits lain yang berbunyi :
إن من أعظم الجهاد كلمة عدل عند سلطان جائر
“Sesungguhnya jihad yang paling besar adalah kalimat ‘adil (benar) yang disampaikan di sisi penguasa yang dhalim/jahat” [HR. Abu Dawud no. 4344, At-Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011, Al-Khathiib dalam Taariikh-nya 7/28, dan yang lainnya; shahih].
Mengapa disebut jihad yang paling besar ? Tidak lain karena ia telah berani menyampaikan kebenaran langsung di hadapan penguasa dengan cara menemuinya empat mata. Bisa jadi ia ditangkap, dipenjara, atau bahkan dibunuh karena nasihat yang disampaikannya. Dan itulah jihad baginya.
Kita tetap dituntut untuk menjelaskan kepada umat bahwa yang haq itu adalah haq dan yang bathil adalah bathil. Misalnya saja, jika penguasa kita menerapkan sistem perekonomian kapitalis ala Yahudi yang menyuburkan praktek riba. Maka, tidak ada alasan untuk tidak mengatakan bahwa riba itu haram. Kita tetap menjelaskan kepada umat tentang hal tersebut dan memperingatkan mereka agar menjauhi riba dengan segala macam jenis dan cabangnya; tanpa perlu kita mengeluarkan perkataan-perkataan yang bernada mencela pemerintah/penguasa yang memprovokasi massa serta membakar emosi khalayak. Kita ucapkan perkataan-perkataan yang mulia kepada penguasa tanpa ada kesan menjilat. Tetap tegas, akan tetapi sesuai Sunnah.
Kesimpulan : Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan – baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya – maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang mencela penguasa/pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin/penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang dhalim/jahat bukan berarti ridla dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin/penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid’ah, dan maksiat ; maka terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Shiddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat ; dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa. Wallaahu a’lam.

DIALOG LANJUTAN……
Tanya : Saya setuju dengan pernyataan taat kepada pemimpin. Namun, menurut saya, semua itu terkait dengan pemimpin yang masih berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lantas, bagaimanakah dengan pemimpin yang tidak berhukum dengan kedua hal tersebut (sebagaimana sekarang) ? Dan tolong hubungkan dengan QS. 5 : 44,45,47 dan QS. 3 : 118 ?
Jawab : Telah disebutkan dalam uraian kami sebelumnya tentang satu hadits tentang kemunculan atsarah. Pada kesempatan ini akan kami tuliskan riwayat yang lain tentang atsarah :
إنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَة وأُمُوْر تُنْكِرُوْنَهَا قَالُوْا يَا رَسُْولَ الله كَيْفَ تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan ada “atsarah” dan banyak perkara yang kalian ingkari dari mereka”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami yang menemuinya ?”. Beliau menjawab : “Tunaikan hak (mereka) yang dibebankan/diwajibkan atas kalian, dan mintalah hak kalian kepada Allah” [HR. Muslim no. 1843].
Imam An-Nawawi berkata :
والأثرة : الاستئثار والاختصاص بأمور الدنيا عليكم. أي : أسمعوا وأطيعوا وأن أختص الأمراء بالدنيا، ولم يوصلوكم حقكم مما عندهم
Al-Atsarah adalah monopoli dan berbuat sewenang-wenang terhadap kalian dalam urusan dunia. Jadi arti hadits itu (yaitu hadits atsarah) adalah : dengar dan taatilah pemerintah/penguasa tersebut walaupun mereka lebih mengutamakan dan mengutamakan urusan dunia mereka di atas kalian [Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi, 12/225].[6]
Beliau kemudian melanjutkan :
فيه الحث على السمع والطاعة وإن كان المتولي ظالماً عسوفاً، فيعطي حقه من الطاعة، ولا يخرج عليه، ولا يخلع، بل يتضرع إلي الله – تعالي – في كشف أذاه، ودفع شره، وإصلاحه
“Di dalam (hadits atsarah) ini terdapat anjuran untuk mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun ia seorang yang dhalim dan sewenang-wenang. Maka berikan haknya (sebagai pemimpin) yaitu berupa ketaatan, tidak keluar ketaatan darinya, dan tidak menggulingkannya. Bahkan (perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim adalah) dengan sungguh-sungguh lebih mendekatkan diri kepada Allah ta’ala supaya Dia menyingkirkan gangguan/siksaan darinya, menolak kejahatannya, dan agar Allah memperbaikinya (kembali taat kepada Allah meninggalkan kedhalimannya)” [idem, 12/232].
Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan). Lantas, apa yang mesti diperbuat oleh kaum muslimin ketika menemui atsarah ini ? Keluar dari ketaatan ? atau bahkan memberontak (kudeta) ? Ternyata tidak. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan beliaulah orang yang paling tahu tentang syari’at Islam – tetap memerintahkan untuk sabar, mendengar dan taat pada hal-hal yang ma’ruf, selama pemimpin tersebut masih berstatus sebagai seorang muslim (tidak kafir) dan masih menegakkan shalat.
عَن عبَادَةَ ابن الصَامت – رَضيَ الله عَنه -، قَالَ : دَعَانَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَبَايَعنَاه فَكَانَ فيمَا أَخَذَ عَلَينَا أَن بَايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله قال إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami, maka kami membaiat kepada beliau. Adapun bai’at kami terhadap beliau adalah untuk selalu mendengar dan taat dalam dalam keadaan senang dan benci; dalam keadaan kami sulit dan dalam keadaan mudah; ketika kesewenang-wenangan menimpa kami; dan juga agar kami tidak mencabut perkara (kekuasaan) dari ahlinya (yaitu penguasa). Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kecuali bila kalian melihat kekufuran yang jelas/nyata berdasarkan keterangan dari Allah” [HR. Al-Bukhari no. 7005 dan Muslim no. 1709]. [7]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpin kamu adalah dimana kamu mencintainya dan mereka mencintaimu. Kamu mendoakannya dan mereka pun mendoakanmu. Adapun sejelek-jelek pemimpin kamu adalah dimana kamu membencinya dan mereka pun membencimu, kamu melaknatnya dan mereka pun melaknatmu”. Dikatakan : Wahai Rasulullah, apakah kami tidak memeranginya saja dengan pedang ?”. Beliau menjawab : “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian. Apabila kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kamu benci, maka bencilah perbuatannya saja dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855, Ahmad no. 24027 dan lainnya]. [8]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan barometer menegakkan shalat sebagai tolok-ukur ketaatan terhadap penguasa adalah karena shalat merupakan ibadah amali paling agung (setelah ucapan syahadat) yang jika ditinggalkan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran.[9] Pada asalnya, ketaatan tidaklah diberikan kecuali pada seorang muslim.
Adapun tentang firman Allah ta’ala :
وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ...... وَمَن لّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [QS. Al-Maidah : 44] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”. [QS. Al-Maidah : 45] “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maidah : 47] [10]
maka ayat di atas juga tidak memutlakkan setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah kufur akbar yang mengeluarkannya dari Islam (murtad) yang dengan itu kita boleh keluar dari ketaatan kepadanya (bahkan memberontak/angkat senjata kepadanya). Kita semua paham – insyaAllah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah).
Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah.
Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :
فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله
“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234]. [11]
Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat). Para ulama telah menjelaskan makna dari ayat di atas sebagai berikut :
Abul-’Abbas Al-Qurthubi rahimahullah (guru dari mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi rahimahullah penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :
وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه.
”Firman Allah ta’ala : Barangsiapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim, 5/117].
Ibnul-Jauzi rahimahullah berkata :
أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحداً له، وهو يعلم أن الله أنزله؛ كما فعلت اليهود؛ فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلاً إلى الهوى من غير جحود؛ فهو ظالم فاسق، وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس؛ أنه قال: من جحد ما أنزل الله؛ فقد كفر، ومن أقرّبه؛ ولم يحكم به؛ فهو ظالم فاسق
"Kesimpulannya, bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir 2/366]. Dan lain-lain [12].
Jika ada orang yang berkata : "Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir ?". Maka kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar).
Al-Imam Ibnul-‘Arabi rahimahullah berkata :
وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين
"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].
Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (6/191) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (3/268). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Jika kita tidak bisa menetapkan dengan satu kepastian, maka tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim (sehingga menghukuminya menjadi seorang kafir). [13]
Inti dari penjelasan di atas adalah bahwa tidak berhukumnya seseorang dengan satu atau beberapa bagian dari hukum Allah tidaklah selalu mengharuskan adanya kekafiran baginya. Hal itu sangat selaras dengan hadits :
لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبت الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة
“Sungguh akan lepas tali Islam seutas demi seutas. Maka setiap kali terlepas seutas, diikuti oleh manusia. Dan yang pertama kali terlepas adalah hukum dan yang terakhir sekali adalah shalat.” [HR. Ahmad no. 22214; shahih].
Perhatikanlah ! Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menghilangkan Islam secara keseluruhan (hingga menjadi kafir) hanya karena sebab tidak berhukum dengan hukum Allah pada beberapa bagiannya. Nash ini berlaku umum, baik amir (penguasa) maupun ma’mur (rakyat). Perinciannya adalah sebagaimana telah dituliskan. Jika hal ini telah menjadi pemahaman bagi kita semua, maka ayat selanjutnya dari yang ditanyakan (yaitu QS. Aali Imran : 118) menjadi sangat mudah. Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” [QS. Aali-‘Imraan : 118].
Dalam ayat tersebut hanyalah mengandung larangan untuk menjadikan teman kepercayaan (bithaanah) selain dari kalanganmu (min duunikum). Kalimat min duunikum di sini maknanya adalah selain dari kaum muslimin, yaitu orang kafir. Jadi larangan pada ayat tersebut adalah larangan untuk menjadikan orang kafir sebagai teman dekat yang kita [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Aali ‘Imran : 118].
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu berkonsekuensi kafir, maka menerapkan ayat tersebut dalam pembahasan adalah kurang tepat. Kita tetap diperintahkan untuk mendengar dan taat pada penguasa selama ia masih berstatus Islam dan menegakkan shalat.
Terakhir, kami tutup pembicaraan ini dengan hadits :
يَكُوْن بَعْدِيْ أَئِمَّة لاَ يَهتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُوْنَ بِسُنَّتِيْ وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رجَال قُلُوْبُهُم قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنَ فِيْ جِثْمَانِ إِنْسِ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتَطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ وَأطِعْ
“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].[14]
Wallaahu a’lam.

[Abu Al-Jauzaa’ di tengah keheningan malam pada tanggal 23 Jumadits-Tsani 1430 H].


[1]     Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إنما الطاعة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf (kebajikan)” [HR. Al-Bukhari no. 4340,7257; Muslim no. 1840; Abu Dawud no. 2625; dan lain-lain].
[2]     Sebagian orang ada yang mempunyai pemahaman bahwa jika ada seorang pemimpin yang memerintahkan kemaksiatan atau berbuat kemaksiatan, maka otomatis gugurlah ketaatan kepadanya secara keseluruhan berdasarkan hadits tersebut. Pemahaman tersebut adalah tidak benar. Sudah menjadi pengetahuan yang jamak di kalangan ulama dan penuntut ilmu bahwa yang gugur itu hanyalah pada hal perintah maksiat saja. Adapun ketaatan secara umum kepadanya masih tetap ada dan wajib dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ألا من ولي عليه وال فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره ما يأتي من معصية الله ولا ينزعن يدا من طاعة
“Ketahuilah, barangsiapa diperintah atasnya (oleh) seorang wali (imam/pemimpin), kemudian dia melihat (imam/pemimpin tersebut melakukan) kemaksiatan kepada Allah, maka hendaknya dia membenci kemaksiatan kepada Allah (yang dilakukan imam/pemimpin tersebut). Dan tidak boleh baginya melepaskan tangan (keluar) dari ketaatan” [HR. Muslim no. 1855].
[3]     Misalnya dapat dibaca dalam kitab Siyaru A’lamin-Nubalaa’ karya Imam Adz-Dzahabi yang tersebar dalam beberapa juznya.
[4]     Perkataan ini adalah perkataan kufur menurut kesepakatan ulama Ahlus-Sunnah; karena Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk – Abu Al-Jauzaa’.
[5]     Ibnu Hajar berkata [أي باب الإنكار على الأئمة علانية خشية ان تفترق الكلمة] “Yaitu pintu mengingkari para penguasa dengan cara terang-terangan (di hadapan khalayak), karena aku mengkhawatirkan persatuan kaum muslimin akan tercerai-berai.” [Fathul Bari juz 13 penjelasan hadits nomor 6685].
[6]     Pengertian atsarah yang diterangkan oleh An-Nawawi adalah sama dan semakna sebagaimana yang diterangkan oleh ulama yang lainnya, seperti Ibnul-Atsir (An-Nihayah fii Gharibil-Hadits), As-Suyuthi (Ad-Diibaaj ‘alaa Shahih Muslim), Abul-‘Abbas Al-Qurthubi (Al-Mufhim lima Asykala min-Talkhiisi Kitaabi Muslim), Al-Qadli ‘Iyadl (Ikmaalul-Mu’lim Syarh Shahih Muslim), Ibnu Barjas (Mu’ammalatul-Hukkam), dan yang lainnya.
Sebagai contoh Al-Hafidh As-Suyuthi rahimahullah menerangkan makna Atsarah : “Monopoli dan berbuat sewenang-wenang dalam urusan dunia, dan menghalang-halangi sampai kebenaran dari apa-apa yang berada di tangannya (tanggung jawabnya)” [Ad-Diibaaj, penjelasan hadits no. 1846].
[7]     Kekufuran yang nyata/jelas yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah kekufuran yang didasari atas nash yang dapat menyebabkan seseorang keluar dari agama Islam (kufur akbar), secara yakin tanpa adanya kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat memalingkannya dari kekufuran tersebut. Vonis kufur ini tidak bisa dilakukan kecuali setelah ditegakkannya hujjah kepada pelaku (dan si pelaku paham dengan hujjah yang diberikan) serta terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran. Syarat-syarat pengkafiran adalah mengetahui (dengan jelas), dilakukan dengan sengaja, tidak ada paksaan. Sebagai contoh, para ulama telah mengatakan kafir hukumnya orang yang menghina dan mencela syari’at Allah. Namun kekafiran tersebut tidaklah bisa langsung kita voniskan secara individu kepada setiap orang yang melakukannya. Barangkali saja orang tersebut tidak tahu bahwa apa yang dicelanya tersebut adalah syari’at Allah, atau mungkin ia melakukannya karena terpaksa/dipaksa. Jika keadaannya seperti itu, maka vonis kafir bagi orang tersebut tidaklah berlaku.
[8]     Sebagian orang menganggap bahwa yang dimaksudkan dengan “shalat” di sini adalah kinayah dari menegakkan hukum secara keseluruhan, sebagaimana hadits :
لو استعمل عليكم عبد يقودكم بكتاب الله، فاسمعوا له وأطيعوا
“Seandainya yang memerintah kalian seorang budak Habsyi berdasarkan Kitabullah, maka dengar dan taatilah” [HR. Muslim no. 1838].
Maka kita jawab : Pertama, Satu lafadh harus kita pahami sesuai dengan hakikatnya. Tidak boleh kita ubah lafadh hakiki dengan lafadh majaz (kinayah) kecuali setelah diterangkan kemusykilannya. Oleh karena itu, lafadh shalat di sini adalah lafadh yang hakiki, bukan majaz. Tidak ada penghalang sama sekali untuk memahaminya dengan makna hakiki. Kedua, Lafadh “Kitabulah” dalam hadits tersebut adalah lafadh yang muthlaq (yaitu lafadh yang mengandung pengertian umum pada jenisnya). Menegakkan Kitabullah itu secara dhahir mengandung makna menegakkan seluruh dari apa yang termaktub di dalamnya baik dalam masalah aqidah, hukum, akhlaq, dan yang lainnya. Dan hal ini tidaklah mungkin ada kecuali pada diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan era Khulafaur-Rasyidin. Adapun setelah itu, maka hukum Islam tidaklah ditegakkan secara sempurna sampai dengan hari ini. Dan memang, bukanlah makna ini yang dimaui oleh syari’at. Makna menegakkan Kitabullah itu di-taqyid (dibatasi pengertiannya) dengan kata “shalat” sebagaimana hadits yang telah disebutkan. Dalam ilmu Ushul-Fiqh hal ini disebut Taqyid Munfashil. Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah]. Intinya, bahwa seorang pemimpin itu harus tetap didengar dan ditaati serta tidak boleh keluar (dari ketaatan) jika ia masih menegakkan shalat. Inilah barometer amali dari seorang pemimpin.
[9]     Perhatikan hadits berikut :
عَنْ جَابِر يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
Dari Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” [HR. Muslim no. 81, Abu Dawud no. 4678, dan yang lainnya].
[10]    Sebenarnya kalimat { لَمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللّهُ} tidak hanya mempunyai arti : “tidak memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah”. Akan tetapi ia mempunyai makna lebih umum, yaitu mempunyai arti “tidak berhukum dengan apa-apa yang diputuskan Allah”. Kalimat Lam Yahkum terjemahannya adalah “tidak berhukum”. Jadi ancaman pada ayat di atas lebih umum dari sekedar pada orang yang memutuskan hukum (hakim/penguasa), namun juga kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
[11]    Namun anehnya, mereka (yang memutlakkan kekafiran pada setiap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah) cenderung mengkhususkan pada pemimpin/penguasa negara saja. Bukankah jika ada diantara ayah-ayah mereka yang membagi warisan tidak sesuai dengan syari’at Islam (sebagaimana hal ini umum terjadi di masa sekarang) dinamakan tidak berhukum atau memutuskan hukum selain dengan hukum Allah ? 
[12]    Apabila tidak khawatir akan penjangnya pembicaraan, niscaya akan kami tuliskan semua yang kami ketahui dari perkataan para ulama dan mufassirin. Sebagai bahan rujukan, silakan dilihat pada Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Khazin (atau Mukhtashar-nya), Tafsir As-Samarqandi, Al-Mufhim (oleh Abul-‘Abbas Al-Qurthubi), Tafsir Abi Su’ud, Ahkaamul-Qur’an (oleh Abu Bakr Al-Jashshash), Tafsir Al-Baidlawi, Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (oleh Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy), dan lain-lain.
[13]    Sesuai dengan kaidah dalam syari’at : Al-Yaqiinu laa Yuzallu bi-Syakk (sebuah keyakinan tidak hilang/berubah hanya karena keraguan).
[14]    Hadits ini merupakan puncak pendalilan yang paling jelas dalam masalah ini. Sekali lagi perlu kami tekankan bahwa ketaatan ini hanya pada hal yang ma’ruf. Apa yang kami jelaskan ini bukan untuk mendukung kemaksiatan yang telah dilakukan oleh sebagian pemimpin/penguasa. Kita tetap wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan menurut cara-cara yang telah digariskan oleh Sunnah …….


Comments

jacksite mengatakan...
Baarakallahu fiik....
Anonim mengatakan...
Ustadz, hafidhakallah. Bagaimana jika ada yang memahami bahwa jika penguasa tersebut sudah secara lahiriah melakukan kekufuran yang nyata (misal : memakai sistem demokrasi dalam pemerintahannya)maka otomatis kewajiban taat sudah batal tanpa perlu memperdulikan lagi apakah penguasa tersebut masih muslim ataupun sudah kafir. Jadi yang dilihat adalah perbuatannya bukan hukum si pelakunya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pandangan tersebut tentu saja keliru. Penghukuman semata-mata hanya dengan tindakan penguasa yang merupakan kekufuran, tidak menjadi sebab harus keluar dari ketaatan. Tidakkah kita ingat di masa Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah para penguasa di waktu itu mempraktekkan kekufuran. Yaitu, mereka menjadikan ideologi Mu'tazillah sebagai ideologi negara ? Mereka mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk ? Ini adalah perkataan kufur tanpa ada perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Lantas apa yang diperbuat para ulama pada waktu itu ? memberontakkah ? Keluar ketaatan secara mutlak kah ? Jawabnya tidak. Para ulama tetap mentaati penguasa pada waktu itu dalam hal-hal yang ma'ruf. Mereka (penguasa) keliru dengan sebab kebodohan dan ta'wil sehingga melakukan kedhaliman (kekufuran).
Anonim mengatakan...
tapi bukankah pada waktu itu (masa imam ahmad bin hambal) adalah negara islam dan sistem pemerintahannya masih memakai syari'at islam ustadz..?? sedangkan di indonesia jelas bukan negara islam dan jelas pula tidak memakai sistem syari'at islam, bagaimana kita bisa diharuskan ta'at dan bersabar..?? sedang alqur'an bukan hannya sebatas sejarah..tapi hudan bagi manusia..tatacara hidup didunia..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Yang menentukan status hukum adalah hakekatnya, bukan sekedar namanya. Antum pasti tahu, bahwa seandainya seorang muslim melakukan amalan kekfuran (akbar), maka ia pun terancam akan kekufuran akbar. Begitu juga dengan sebuah negara. Meskipun satu negara mencantumkan asas Islam sebagai dasar negaranya, namun jika kenyataannya malah banyak mengadopsi undang-undang kafir, bisa jadi negara tersebut bukan negara Islam. Status negara Islam bukanlah sekedar pencatuman asas, namun realitas hukum dan syi'ar-syi'arnya yang utama yang berlaku dalam negara tersebut. Kembali pada pertanyaan antum. Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam untuk tunduk dan patuh adalah pada penguasa muslim. Jika ia masih berstatus muslim, belum kafir, maka setiap kaum muslimin yang ada di bawah pengurusannya terikat dengan perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut. Tentu saja, hanya pada hal yang ma'ruf saja.
Anonim mengatakan...
maaf ustadz, yang dimaksud kafir itu yang bagaimana sih ustadz..., trus fungsi dari surat al maidah ayat 44,45 dan 47 itu untuk apa dan untuk siapa..?
Anonim mengatakan...
assalamu'alaikum, afwan..ana mmbca artikel diatas ko' merasa ada yg aneh ya, merasa ana sebagai seorang muslim yg di paksa untuk enjoy dan damai tanpa beban sdikitpun yg mati nanti masuk surga padahal banyak ancaman2 allah kepada ana dalam alqur'anNya, tentang hukum, kpemimpinan, wali dan ketaatan. serasa menyuruh ana untuk menutup alqu'an ana dan membungkusnya dengan menyertakan tulisan di atas smpulnya "HANYA SEBATAS BUKU SEJARAH YANG TIDAK BANYAK MEMBUAHKAN ILMU DAN MANFAAT" menangis hati ini akhi...kenapa gampang sekali mengupas ayat Allah sampai tak berisi sama sekali, afwan akhi..jangankan pada penguasa/pemimpin..pada istri kita aja bisa jadi musuh jika tak beriman, kita rela mati demi anak istri...tapi islam di aduk2 bahkan di kerdilkan hukumnya...tak ada rasa sdikitpun untuk membelanya...
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam. Adapun saya, tidak ada yang aneh. Pesan artikel di atas adalah menetapkan ketaatan padahal yang ma'ruf terhadap penguasa muslim, meskipun dhalim selama tidak terjatuh dalam kekafiran. Pesan ini sesuai dengan pesan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Adapun kesedihan Anda, tentu saja harus diselaraskan dengan nash dan pemahaman para ulama salaf. Bukan sekedar mengikuti emosi semata. Sama sekali tidak ada pesan dari artikel di atas untuk mengerdilkan hukum Allah. Jika Anda menemukan satu kalimat saja yang mengindikasikan bahwa saya mengerdilkan hukum Allah, silakan diberi tahu. Jika memang valid apa yang Anda katakan itu, saya sangat-sangat bersedia mengoreksinya.
Anonim mengatakan...
afwan.."selama mereka menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata dari mereka" ini bgaimna maksudnya ustad..bukankah meyakini hukum yg dibuatnya lebih baik dari hukum allah sudah termasuk kekufuran yang amat jelas...
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Maksudnya sudah jelas. Seorang penguasa/amir/sulthaan/imam tetap wajib ditaatai jika ia masih menegakkan shalat dan tidak nampak kekufuran yang nyata pada dirinya. Kekufuran yang nyata itu adalah kekufuran yang berlandaskan nash, shariih (jelas), ma'ruuf, tanpa ada kemungkinan ta'wil. Adapun meyakini bahwa hukum dibuatnya lebih baik dari hukum Allah, maka ini adalah kekufuran akbar yang dapat mengeluarkan dari millah. Tapi kita harus hati-hati, karena di situ ada perkataan meyakini. Keyakinan adalah permasalahan hati yang ia tidak bisa diketahui semata-mata hanya karena seseorang mengerjakan satu kemaksiatan, atau melazimkan satu kemaksaiatan, atau menerapkan satu kemaksiatan.
abdullah 09 mengatakan...
bismillah. afwan ustadz, keta'atan kepada presiden di negara kita indonesia adalah semata-mata ketaatan dari sisi kemaslahatan, bukan dari sisi syar'i. karena jelas sekali bhwa sby itu bukanlah ulil amri sebagaimana yg dimaksudkan dlam alquran. istilah fiqih yg kita pakai "wajib qodoan la diyanatan". misalkan: intruksi presiden buat ktp, maka jika seseorang tidak buat ktp maka tidak berdosa kelak di akherat. dlm artian ketika tidak ta'at pun kepada presiden indonesia, maka Allah tidak akan mengazabnya di akherat. keta'atan kita kepada presiden hanya sebatas demi kemaslahatan diri kita dan negeri indonesia, tidak ada kaitannya dg syar'i. berbeda sekali dengan orang yang menganggap sby sebagai ulil amri syar'i, maka ta'at dan tidak ta'at ada konsekuensi dari sisi syara'.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ya, itu adalah pendapat Anda dan orang yang semisal dengan Anda. Ada baiknya Anda membaca bahasan di bagian komentar di sini.
Anonim mengatakan...
Assalaamu'alaikum.. Maaf ustadz, tiba2 datang kesini.. Sekarang kan lagi heboh2nya demo disana-sini, dimana ketaatan sudah dianggap sepele oleh orang2 pada umumnya..padahal setahu saya perubahan yg mereka inginkan dan perjuangkan pada '98 dengan cara menggulingkan penguasa nyata2 tidak berhasil jika berkaca pada saat ini..apakah akan terjadi lagi reformasi, lagi, dan lagi?..saya memang tidak bisa menyalahkan mereka (karena saya sadar ilmu saya sangatlah kurang), tapi menurut saya jika kita menginginkan perubahan dengan cara2 yg dibenci nash, takutnya malah masalah tidak akan pernah berakhir.. Tapi saya bukan mau membahas masalah itu disini, ustadz.. Saya yg sekarang masih ABG, yg mana kehampaan dalam hati terasa kian sesak, gemerlapan hingar bingar dunia sudah terasa memuakkan, kemuliaan akal yg dianugerahkan Allah benar2 tidak saya isi dengan hal2 yg bermanfaat, dan yg lainnya seperti yg Ustadz tahu lah tentang masalah2 ABG seperti saya ini.. Jadi, maksud saya adalah tolong donk dibuatkan artikel yg sesuai kontennya dengan masalah2 yg seperti saya alami..saya gak mau terjatuh lebih dalam lagi, ustadz..saya sadar, ternyata diri ini lama-kelamaan makin jauh aja dari Allah.. Tolong ya, ustadz..maaf klo salah alamat.. Makasih.. Ya Allah, perkenankanlah permohonan hamba-Mu ini, semoga Engkau mengizinkan ustadz Abul-Jauzaa untuk menyebarkan sedikit ilmu-Mu yg engkau anugerahkan kepadanya..Aamiin..