(Hadist: Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X)
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITSAllâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allâh man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.[1]
SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang
terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita
sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya,
dan yang hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur‘an dan Sunnah.
Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur‘an :
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‘an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)
Al-Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
“Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur‘an dan yang semisal dengannya”.
Al-Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia firmankan :
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu, bahwasanya dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil bertanya :
“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda
terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha.
Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),”
sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-Qur‘an dan pengkhusus
bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak,
dan dia adalah wahyu Allâh Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah
diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda :
“Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”.
Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih
Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang
mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabda beliau :
“Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh”.
Bagaimana seseorang bisa mengarahkan
sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan tersebut termasuk
ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang
dicintai dan diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan
maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah
Allâh Ta'ala firmankan :
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :
“Wahai, anak kecil.
Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh,
maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan
mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada
Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allâh”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi
melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan
Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak
ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak
diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allâh.
Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali
maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang tinggi. Dengan ini,
(seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al-muhdits,
adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang
merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dalam hal ini,
terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam).
Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh,
maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta
konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar
huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari
lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak
diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat
tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allâh serta diutus para
rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek
perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah
beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al-Ghifari radhiyallâhu'anhu bahwasanya dia berkata :
“Tidaklah Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan
semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah
beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita;
bagaimana tidak, sedangkan Allâh Ta'ala telah berfirman tentang beliau :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)
Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah (yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an Nuur : 54)
(QS an Nuur : 54)
Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb
kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh Ta'ala, dan inilah
hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta hak agama-Nya.
Maka apakah kita telah menjalankan semua
hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan
adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua
dari hadits di atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah
suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara keduanya dengan baik.
Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta
tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang
tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang
durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha
sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini
terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak
langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain
mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah
bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,”
Para sahabat bertanya,
”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”,
Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :
“Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.
Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan
syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung
kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan
yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini
secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan
oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal
ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak
perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut
sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak
seperti itu.[2]
Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam
menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan
orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan
mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana jika kita
melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain,
lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa
besar.
Jika kita melaksanakan ketaatan kepada
mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi
(nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat
buruknya akan menimpa dirinya sendiri.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)
Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala
menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya
kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap
hak jiwa sendiri, ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang
disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :
1. Hak Allâh
2. Hak Nabi
3. Hak nafs
4. Hak orang lain
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain”
Maksudnya adalah seseorang yang
melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat,
saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar
hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman
dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang
berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana
kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari
itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan
menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”
Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta
atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara
dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab
perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Satu dirham (hasil)
riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih
besar dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan”
Apabila ini tingkat paling rendah akibat
harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua
dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang
jauh.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda :
“Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau
yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi
beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia
baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau thaleh. Karena dengan akhlak
yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak orang
lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya
(kepada kebenaran).[3]
(*) |
Naskah ini diangkat berdasarkan khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan
al Halabi al Atsari – hafizhahullah di Masjid al-Akbar Surabaya, 18
Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006. Narasi khutbah tersebut
diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib dan Kholid Syamhudi, kemudian
kami tulis kembali dalam bentuk naskah, dengan penyesuaian seperlunya
tanpa mengurangi substansi materi. Judul di atas adalah dari Redaksi.
Semoga bermanfaat. (Redaksi) |
[1] |
Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi.
|
[2] |
Redaksi : Hal ini seperti yang dilakukan
oleh harakiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad
melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau
pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan
Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali,
justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan
mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allâh Ta'ala firmankan tentang
mereka ini :
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (Qs. al-Kahfi : 103-104) |
[3] |
Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi)
|
Comments