Halaman

Rabu, 20 Maret 2013


Kegagalan Islam Liberal dalam Memahami Ijtihad

Kategori: Manhaj  17 Februari 2010
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih. Salawat lagi salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan teladan terbaik bagi kemanusiaan, para sahabatnya dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Berikut ini adalah beberapa catatan penting tentang hakekat dan bahaya Islam Liberal yang kami himpun dari pengakuan mereka sendiri tentang ke-liberalan ajaran mereka. Kami akan menukil ucapan mereka kemudian mengomentarinya seperlunya, demi menjelaskan letak kekeliruan dan penyimpangan mereka dari shirathal mustaqim. Wallahul muwaffiq!
Mereka mengatakan, “Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).” (Tentang Jaringan Islam Liberal)
Pertama: JIL Gagal mendefinisikan ijtihad
Pembaca sekalian, kita perlu mencermati kesalahpahaman mereka dengan sabar. Pertama, mereka mendefinisikan ijtihad sebagai ‘penalaran rasional atas teks-teks keislaman’. Gambaran mereka tentang ijtihad rupanya tidak sempurna. Bandingkanlah pengertian yang mereka ajukan dengan pengertian para ulama. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani memaparkan, bahwa ijtihad secara terminologi adalah ‘mengerahkan segala kemampuan dalam rangka mengkaji dalil-dalil syari’at dengan tujuan menarik kesimpulan hukum syari’at’ (lihat Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 464 cet. Dar Ibnul Jauzi).
Pengertian ijtihad versi para ulama ini lebih sopan dan lebih lengkap daripada pengertian ijtihad versi mereka. Hal itu dikarenakan pemaknaan ijtihad sebagai ‘penalaran rasional atas teks-teks keislaman’ mengandung indikasi pengagungan rasio di atas wahyu, bahkan merendahkan posisi wahyu hanya sebagai teks yang ‘bisu’ dan perlu ditundukkan kepada rasio. Padahal, sebagaimana kita pahami bersama bahwa standar kebenaran dalam Islam bukanlah rasio akan tetapi wahyu al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun akal atau rasio hanyalah sekedar alat untuk memahami, bukan standar atau pedoman untuk menghukumi.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu pendapat wajib diikuti dalam segala keadaan kecuali Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun segala sesuatu selain keduanya harus mengikuti keduanya.” (Jima’ al-‘Ilm hal. 11, sebagaimana tertera dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 68). Ucapan beliau ini benar-benar dibangun di atas kepahaman terhadap ajaran Islam, pokok maupun cabang-cabangnya. Hal itu selaras dengan firman Allah ta’ala (yang artinya), “Kemudian apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan rasul (as-Sunnah)…” (QS. an-Nisaa’: 59). Oleh sebab itu Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya as-Sunnah dan al-Qur’an keduanya merupakan sumber pendapat akal/rasio dan standar baginya. Bukanlah rasio yang menjadi standar/timbangan yang menghakimi as-Sunnah. Akan tetapi as-Sunnah itulah yang menjadi standar yang menghakimi rasio.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, [2/173] sebagaimana tertera dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 73).
Inilah satu bukti nyata atas kegagalan Islam Liberal (untuk selanjutnya kami sebut dengan JIL) dalam memaknai ijtihad dan perendahan mereka terhadap sumber hukum agama Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kedua: JIL Gagal memahami dalil syari’at
Kesalahpahaman berikutnya ternyata muncul dari kesalahpahaman yang pertama. Mereka menganggap bahwa penalaran rasional itulah yang akan ‘mempertahankan Islam di segala cuaca’. Itu tidak lain karena dalam pandangan JIL rasio adalah standar yang menghakimi teks atau dalil yang ada (mereka enggan memakai istilah dalil, pen). Sehingga ketika akal mereka tidak bisa menangkap maksud teks dalam konteks kekinian maka dengan mudahnya mereka akan mengubah kandungannya agar lebih sesuai dengan akal –versi mereka-, demikianlah yang mereka inginkan. Tindakan semacam ini tentu saja termasuk kejahatan kepada wahyu itu sendiri sebagaimana perilaku sebagian dari Ahli Kitab yang menyelewengkan ayat-ayat Kitab Suci mereka.
Sederhananya, ketika apa yang ditunjukkan oleh dalil tidak sesuai dengan hawa nafsunya maka merekapun menyimpangkan makna dalil itu agar selaras dan sejalan dengan hawa nafsunya. Tidakkah kita ingat firman dan teguran Allah di dalam ayat-Nya (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara ternyata masih ada alternatif pilihan lain dalam urusan mereka. Barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan amat sangat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Ketiga: JIL Gagal memahami sikap para ulama
Kesalahpahaman ketiga, JIL mengesankan kepada umat bahwa pintu ijtihad sekarang ini telah ditutup oleh para ulama. Padahal tidak demikian yang sebenarnya. Mengapa mereka menciptakan kesan demikian? Sebab dalam persepsi mereka hakekat dan ruh dari ijtihad itu adalah menjadikan akal/rasio sebagai hakim atas dalil-dalil al-Kitab maupun as-Sunnah, sebagaimana yang telah diterangkan di depan. Kalau itu yang mereka maksud dengan ijtihad, maka memang tidak salah jika para ulama menutup pintu ijtihad bagi orang-orang seperti mereka. Sebab ijtihad yang mereka lakukan tergolong ijtihad yang fasid/tidak sah. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani berkata, “Ijtihad yang fasid itu adalah yang muncul dari orang yang tidak paham tentang al-Kitab dan as-Sunnah serta bahasa Arab, yaitu orang yang pada dirinya tidak terpenuhi syarat-syarat berijtihad, atau bisa juga muncul dari seorang mujtahid yang layak untuk berijtihad namun bukan pada tempatnya yaitu dalam perkara-perkara yang tidak diperbolehkan ijtihad di dalamnya.” (Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 470)
Keempat: JIL Gagal memahami kaidah ijtihad
Kesalahpahaman keempat, JIL tidak memahami kaidah ijtihad. Hal itu tampak dari ucapan mereka, “Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).” Sesungguhnya ijtihad memiliki batasan-batasan, tidak semua persoalan agama boleh menjadi lahan ijtihad. Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani menjelaskan ijtihad itu diperbolehkan dalam empat keadaan, secara global sbb:
  1. Dalam suatu perkara yang tidak ada dalil tegas atasnya dan bukan sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama
  2. Di dalam dalil tersebut memang memungkinkan adanya perbedaan penafsiran/ta’wil yang tidak dipaksakan
  3. Perkara yang menjadi lahan ijtihad bukan tergolong permasalahan aqidah
  4. Perkara yang menjadi lahan ijtihad tergolong masalah baru (nawazil) yang baru terjadi di masa kini dan belum pernah terjadi di masa silam, atau dalam perkara yang secara umum bisa saja terjadi -tapi belum terjadi- sedangkan kebutuhan atasnya sangat mendesak (lihat lebih luas dalam Ma’alim Ushul Fiqh, hal. 475-478)
Semoga para pemuda dan cendekiawan tidak terpengaruh oleh kesalahpahaman yang disebarkan oleh JIL dan kawan-kawannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Senin, 21 Mei 2012

Bersihkan Hati Anda Dari Noda Hasad

Bersihkan Hati Anda Dari Noda Hasad


Hampir seluruh manusia pernah terjangkiti Hasad. Ibnu Taimiyyah berkata :

وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ " الْحَسَدَ " مَرَضٌ مِنْ أَمْرَاضِ النَّفْسِ وَهُوَ مَرَضٌ غَالِبٌ فَلاَ يَخْلُصُ مِنْهُ إِلاَّ قَلِيْلٌ مِنَ النَّاسِ وَلِهَذَا يُقَالُ : مَا خَلاَ جَسَدٌ مِنْ حَسَدٍ لَكِنَ اللَّئِيْمَ يُبْدِيْهِ وَالْكَرِيْمَ يُخْفِيْهِ

"Maksudnya yaitu bahwasanya hasad adalah penyakit jiwa, dan ia adalah penyakit yang menguasai, tidak ada yang selamat darinya kecuali hanya segelintir orang. Karenanya dikatakan, "Tidak ada jasad yang selamat dari hasad, akan tetapi orang yang tercela menampakkannya dan orang yang mulia menyembunyikannya" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/125-126)

Kenapa hasad sulit dihindari?, Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata

وَالْحَسَدُ مَرْكُوْزٌ فِي طِبَاعِ الْبَشَرِ وَهُوَ أَنَّ الإِنْسَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَفُوْقَهُ أَحَدٌ مِنْ جِنْسِهِ فِي شَيْءٍ مِنَ الْفَضَائِلِ

"Hasad tertanam di tabi'at manusia, yaitu namanya manusia benci jika ada seorangpun –yang sejenis dengannya (sesama manusia)- yang mengunggulinya dalam suatu keutamaan" (Jaami'ul 'Uluum wa al-Hikam hal 327)

Akan tetapi… lantas apakah kita harus pasrah dan mengikuti penyakit hasad yang merongrong hati kita???



Model-model Manusia Terhadap Hasad

"Manusia bermodel-model dalam menghadapi hasad:

(Pertama) : Diantara mereka ada yang berusaha untuk menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang dihasadi, dengan berbuat dzolim kepadanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan lalu diantara mereka ada yang berusaha hanya untuk menghilangkan kenikmatan tersebut dari yang dihasadi tanpa harus berpindah kenikmatan tersebut kepadanya Dan inilah yang merupakan bentuk hasad yang paling buruk dan paling keji, dan inilah hasad yang tercela dan terlarang. Ia adalah hasad yang merupakan dosa Iblis, dimana ia telah hasad kepada Adam 'alaihis salaam tatkala ia melihat Adam telah mengungguli para malaikat, yaitu Allah telah menciptakan Adam dengan tanganNya, telah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya, Allah telah mengajarkannya nama-nama segala sesuatu, serta Allah menempatkan Adam di surga di sisiNya. Maka Iblispun terus senantiasa berusaha untuk mengeluarkan Adam dari surga, hingga akhirnya iapun berhasil mengeluarkan Adam dari surga…

Hasad ini pulalah yang merasuki orang-orang yahudi sebagaimana telah Allah sebutkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an, diantaranya firman Allah

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

"Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (QS Al-Baqoroh : 109)

Juga firman Allah :

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا (٥٤)

"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia [Yaitu: kenabian, Al Quran, dan kemenangan] yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar" (QS An-Nisaa' : 54)" (Dari perkataan Ibnu Rojab dalam Jaami'ul 'Uluum wal Hikam hal 327)

(Kedua) : Diantara mereka ada yang menghendaki kenikmatan yang ada pada saudaranya berpindah kepada dirinya. Misalnya saudaranya tersebut memiliki seorang istri yang cantik lantas ia berangan-angan agar saudaranya menceraikan istrinya tersebut atau agar saudaranya segera meninggal sehingga iapun bisa menikahi sang wanita.

Atau saudaranya memimpin sebuah markaz lantas ia berangan-angan agar saudaranya segera hengkang pergi atau segera meninggal agar ialah yang akan menjadi pemimpin markaz tersebut.

Atau saudaranya seorang dai yang terkenal dan memiliki banyak pengikut, maka iapun berangan-angan agar saudaranya melakukan kesalahan sehingga ditinggalkan oleh para pengikutnya maka para pengikutnya akan berpaling kepadanya.

(Ketiga) : Ia bukan berharap hilangnya kenikmatan yang ada pada saudaranya, akan tetapi ia berbahagia jika saudaranya tetap dalam kondisinya yang buruk, tetap dalam keadaan miskin, atau tetap dalam keadaan bodoh, atau tetap dalam keadaan terjerumus dalam kesalahan atau bid'ah. Karenanya hatinya menjadi teriris-iris jika saudaranya tersebut menjadi kaya, atau menjadi pintar dan alim, atau yang tadinya terjerumus dalam bid'ah kemudian mengenal sunnah.

(Keempat) : Ia tidak berharap hilangnya kenikmatan yang ada pada saudaranya, akan tetapi ia berharap dirinya memperoleh kenikmatan sebagaimana yang dirasakan oleh saudaranya, dan ia berusaha untuk memperolehnya, sehingga kondisinya bisa setingkat/setara dengan saudaranya tersebut. Akan tetapi tatkala cita-citanya tersebut tidak tercapai, kenikmatan tidak bisa ia raih maka iapun terjerumus dalam hasad, iapun ingin kenikmatan pada saudaranya lenyap, sehingga saudaranya tersebut bisa terjatuh dan setara dengan dirinya. (poin kedua hingga keempat silahkan lihat kitab Fiqh Al-Hasad karya Musthofa Al-'Adawi hal 9-10)

(Kelima) : Ia hasad kepada saudaranya, akan tetapi ia tidak berusaha untuk menghilangkan kenikmatan yang ada pada saudaranya, ia tidak menzoliminya baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Jika ia berusaha untuk menghilangkan hasad dalam hatinya akan tetapi ia tidak berhasil, bahkan hasad tetap mendominasinya maka orang seperti ini tidak berdosa selama ia tidak merealisasikan penyakit hasadnya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

Adapun jika ia sengaja membisikkan hatinya untuk hasad dan mengulang-ngulang bisikan tersebut dalam hatinya, dan ia tenteram dan condong kepada hilangnya kenikmatan dari saudaranya, meskipun ia tidak merealisasikan hasadnya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan akan tetapi hanya disimpan dihati, maka orang seperti ini ada khilaf diantara para ulama, apakah ia dihukum atau tidak?, apakah ia berdosa atau tidak?. Masalahnya apa yang ia lakukan dengan membisikan hasad kepada hatinya mirip dengan 'azam/tekad yang dipasang untuk melakukan kemaksiatan meskipun belum melakukan kemaksiatan. Dan sebagian ulama menyatakan bahwa jika niat sudah sampai pada derajat 'azam/tekad maka menimbulkan dosa.  (Lihat Jaami'ul 'Uluum hal 327-328).

Ibnu Taimiyyah berkata, "Barang siapa yang mendapati dalam dirinya rasa hasad kepada orang lain maka hendaknya ia menggunakan ketakwaannya dan kesabarannya untuk membenci hasad yang ada dalam dirinya.

Banyak orang yang memiliki agama (yang kuat) mereka tidak berbuat dzolim kepada orang yang dihasadi, mereka juga tidak menolong orang yang menzolimi orang yang dihasadi. Akan tetapi mereka juga tidak menunaikan kewajiban hak orang yang dihasadi. Bahkan jika ada seseorang yang mencela orang dihasadi tersebut maka mereka tidak setuju dengan pencela tadi namun juga tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dihasadi. Mereka ini berhutang kepadanya karena telah meninggalkan perkara yang diperintahkan untuk menunaikan haknya dan kurang dalam menunaikannya, namun mereka tidak berbuat pelanggaran terhadap haknya.  Maka balasan terhadap mereka adalah hak-hak mereka juga akan terkurang hak-hak mereka, sehingga mereka juga tidak akan disikapi dengan adil dalam beberapa kondisi, serta mereka juga tidak akan ditolong melawan orang yang yang menzolimi mereka sebagaimana mereka tidak menolong orang dihasadi tersebut. Adapun barang siapa yang melanggar/menzolimi orang yang dihasadi baik dengan perkataan maupun perbuatan maka ia akan dihukum" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/125)

(Keenam) : Yaitu seseorang yang tatkala mendapatkan dalam dirinya rasa hasad maka ia berusaha menghilangkannya dengan cara berbuat baik kepada saudaranya yang ia hasadi, ia mendoakannya, ia menyebarkan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaannya, hingga akhirnya ia mengganti hasadnya dengan mencintai saudaranya. Ini termasuk derajat keimanan yang tertinggi. Pelakunya adalah seorang yang imannya sempurna, yang menghendaki bagi saudaranya apa yang ia suka untuk dirinya sendiri. (Lihat Jaami'ul 'Uluum wal Hikam hal 328)

Ibnu Taimiyyah berkata, "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dan bersabar (*sehingga tidak merealisasikan hasadnya), dan tidak termasuk dalam orang-orang yang berbuat dzolim, maka Allah akan memberi manfaat kepadanya dengan ketakwaannya tersebut. Sebagaimana yang dialami oleh Zainab binti Jahsy radhiallahu 'anhaa. Ia adalah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyaingi Aisyah (di hati Nabi)" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/125, yaitu Zainab selamat tidak ikut-ikutan menuduh Aisyah dalam kasus 'ifk/tuduhan Aisayh berzina. Padahal saudarinya Hamnah binti Jahsy ikut terprovokasi sehingga ikut-ikutan menuduh Aisyah)



Sebab Timbulnya Hasad

Ibnu Taimiyyah berkata :

"Dan hasad diantara para wanita sering terjadi dan mendominasi, terutama diantara para istri-istri pada satu suami. Seorang wanita cemburu karena adanya para istri yang lain yang menyertainya. Demikianlah hasad sering terjadi diantara orang-orang yang berserikat dalam kepemimpinan atau harta jika salah seorang dari mereka mendapatkan bagian dan yang lainnya luput dari bagian tersebut. Demikian juga hasad terjadi diantara orang-orang yang setara karena salah seorang diantara mereka lebih dari pada yang lain. Sebagaimana para saudara nabi Yusuf, demikian juga hasadnya salah seorang anak Adam kepada yang laiinya. Ia hasad kepada saudaranya karena Allah menerima korbannya sementara kurbannya tidak diterima. Ia hasad kepada kelebihan yang Allah berikan berupa keimanan dan ketakwaan –sebagaimana hasadnya yahudi terhadap kaum muslimin- sehingga iapun membunuh saudaranya karena hasad tersebut" (Majmuu' Al-Fatawa 10/125-126)

Karenanya seorang penjual minyak wangi memiliki hasad yang sangat besar kepada penjual minyak wangi yang lain, terlebih lagi jika penjual yang lain tersebut berjualan di areal yang sama. Padahal meskipun di dekat areal tersebut ada show room mobil yang pemiliknya memperoleh keuntungan puluhan juta tiap hari, akan tetapi para penjual minyak wangi tidak hasad kepada sang pemilik show room, karena segmen dan profesi yang berbeda.

Demikian juga dokter hasad kepada dokter yang lain jika ternyata pasien dokter tersebut lebih banyak dari pasiennya.

Tukang becak hasad kepada tukang becak lainnya, dan ia tidak hasad kepada para supir taksi yang mungkin untung mereka berlipat-lipat ganda daripada untuk si tukang becak.

Demikian pula tetangga hasad kepada tetangga yang lain, tatkala melihat isi rumah tetangganya lebih mewah, demikian juga bangunan rumahnya lebih mewah.

Demikian juga penuntut ilmu hasad kepada penuntut ilmu yang lain, jika ternyata niatnya menuntut ilmu tidak ikhlas karena Allah.


Keburukan Hasad

Pertama : Hasad bertentangan dengan nilai dan konsekuensi persaudaraan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

"Janganlah kalian saling hasad, janganlah saling membenci, jangan saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara"
(HR Muslim no 2559)

Padahal diantara kaum mukminin harusnya saling mencintai dan menyayangi. Allah berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka."
(Al-Fath : 29)

Kedua : Hasad merupakan penyakit.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الأُمَمِ قَبْلَكُمْ : الْحَسَدُ وْالْبَغْضَاءُ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ لاَ أَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّيْنَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثْْبِتُ ذَلِكَ لَكُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

"Telah berjalan kepada kalian penyakit umat-umat terdahulu, hasad dan permusuhan. Dan permusuhan adalah membotaki. Aku tidak mengatakan membotaki rambut, akan tetapi membotaki agama. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku kabarkan kepada kalian dengan apa bisa menimbulkan hal tersebut?, tebarkanlah salam diantara kalian"
(HR At-Thirmidzi 2/83 dan Ahmad 1/165,167, dan dihasankan oleh Al-Albani dalama Irwaaul Gholil 3/238)

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:

سَيُصِيْبُ أُمَّتِي دَاءُ الأُمَمِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا دَاءُ الأُمَمِ ؟ قَالَ : الأَشْرُ، وَالْبَطْرُ والتَّكَاثُرُ وَالتَّنَاجُشُ فِي الدُّنْيَا وَالتَّبَاغُضُ وَالتَّحَاسُدُ حَتَّى يَكُوْنَ الْبَغْيُ

"Umatku akan ditimpa penyakit umat-umat". Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, apakah itu penyakit umat-umat (terdahulu)?". Rasulullah berkata, "Kufur Nikmat, bersikap berlebihan terhadap nikmat Allah (terlalu riang gembira/berfoya-foya), saling berlomba-lomba memperbanyak dunia, saling berbuat najsy, saling memusuhi, dan saling hasad-menghasadi hingga timbulnya sikap melampaui batas (kedzoliman)" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 680)

Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah menamakan hasad sebagai penyakit… maka dikatahui bahwasanya hasad merupakan penyakit. Dalam hadits yang lain (doa Nabi)

أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَهْوَاءِ وَالأَدْوَاءِ

"Aku berlindung kepada Engkau dari akhlak yang munkar, dari hawa nafsu, dan dari penyakit-penyakit" (Majmuu Al-Fataawaa 10/126)

Ketiga : Hasad lebih buruk dari pelit

Ibnu Taimiyyah berkata :

وَالشُّحُّ مَرَضٌ وَالْبُخْلُ مَرَضٌ وَالْحَسَدُ شَرٌّ مِنَ الْبُخْلِ

"Rasa pelit penyakit, kikir merupakan penyakit, dan hasad lebih buruk daripada rasa pelit" (Majmuu Al-Fataawa 10/128)

Hal ini dikarenakan orang yang pelit ia hanya mencegah dirinya dari kenikmatan Allah, atau mencegah orang lain dari kenikmatan yang Allah yang ia miliki. Adapun orang yang hasad ia membenci kenikmatan Allah pada orang lain.

Terkadang seseorang dermawan dengan memberikan pemberian kepada orang lain yang membantunya akan tetapi ia hasad kepada orang-orang lain yang semisalnya. Terkadang seseorang pelit akan tetapi ia tidak hasad kepada orang lain. (lihat Majmuu' Al-Fataawaa 10/29)

Keempat ; Orang yang hasad pada hekekatnya protes dengan keputusan Allah.

Allah yang telah mentaqdirkan si fulan kaya, si fulan cerdas, sifulan cantik, dll.

Allah berfirman :

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٣٢)

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (Az-Zukhruf : 32)

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (٥٣)

"Dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (QS Al-An'aam : 53)

Lantas orang yang hasad ini protes dari sisi :

-         Tidak setuju dengan pembagian Allah tersebut

-         Tidak setuju kalau si fulan mendapatkan kenikmatan, dan merasa bahwa dialah yang lebih pantas meraih kenikmatan tersebut

Kelima : Orang yang hasad pada hekekatnya telah berbuat baik kepada orang yang ia hasadi. Karena jika ia telah hasad ia biasanya menzolimi orang yang ia hasadi dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Baik merendahkan atau menggibahinya. Dengan demikian maka ia telah mentransfer kebaikan-kebaikannya kepada orang yang ia hasadi tersebut pada hari kiamat kelak, pada hari dimana sangat dibutuhkan kebaikan-kebaikan untuk ditimbang oleh Allah

Keenam : Orang yang hasad telah bertasyabbuh dengan iblis dan kaum yahudi. Karena hasad adalah akhlak iblis dan orang-orang yahudi.

Ketujuh : Orang yang hasad pada hakikatnya meminta agar Allah memberinya cobaan yang belum tentu bisa ia pikul. Seseorang miskin yang hasad kepada orang yang kaya hendaknya ia berhusnudzon kepada Allah tatkala ia belum diizinkan Allah untuk menjadi kaya, karena bisa jadi jika ia diberi kekayaan oleh Allah maka ia akan semakin jauh dari Allah dan terjerumus dalam berbagai kemaksiatan, sebagaimana yang banyak dialami oleh orang-orang yang kaya raya. Dan bukankah jika ia kaya, maka akan banyak orang yang hasad kepadanya?, sehingga ia tidak akan aman dari gangguan mereka yang hasad kepadanya??!.

Seorang yang hasad kepada orang yang memiliki ilmu lebih dan dakwahnya lebih diterima, hendaknya ia husnudzon kepada Allah, karena bisa jadi jika Allah memindahkan ilmu orang tersebut kepadanya maka ia tidak mampu memikulnya, bisa jadi iapun menjadi orang yang riya dan angkuh sehingga menjerumuskan ia ke dalam api neraka.

Kedelapan : Hasad adalah penyebab dosa pertama kali di langit dan dibumi. Iblis kafir kepada Allah karena hasad kepada Adam, dan Qobil membunuh Habil pun karena hasad.



Tidak Hasad Sebab Masuk Surga

Membersihkan hati dari segala model hasad merupakan perkara yang sangat berat dan butuh perjuangan yang berkesinambungan.

Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata:

كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى . فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ

"Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliaupun berkata : "Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga". Maka munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin 'Amr bin Al-'Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : "Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, "Silahkan".

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya :

وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

"Abdullah bin 'Amr bin al-'Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : "Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali  : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga", lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?". Orang itu berkata : "Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat". Abdullah bertutur : "Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad  kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya". Abdullah berkata, "Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga-pen), dan inilah yang tidak kami mampui" (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan sanad yang shahih)

Perhatikanlah hadits yang sangat agung ini, betapa tinggi nilai amalan hati di sisi Allah. Sahabat tersebut sampai dinyatakan sebagai penduduk surga oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut, sebabnya… karena ia tidak telah membersihkan hatinya dari segala noda hasad !!!. Padahal amalan dzohirnya sedikit, sahabat ini tidak rajin berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam, akan tetapi yang menjadikannya mulia… adalah amalan hatinya. (silahkan baca kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/106-pentingnya-amalan-hati)

Ibnu Taimiyyah berkata, "Perkataan Abdullah bin 'Amr kepadanya, "Inilah yang telah engkau capai yang kami tidak mampui" memberi isyarat akan bersih dan selamat hatinya dari segala bentuk dan model hasad" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/119)

Para sahabat kaum Anshoor telah membersihkan hati mereka dari rasa hasad terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin. Allah berfirman

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩)

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung" (Al-Hasyr : 9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Firman Allah "Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka (hasad) terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)" yaitu:

وَلاَ يَجِدُوْنَ فِي أَنْفُسِهِمْ حَسَدًا لِلْمُهَاجِرِيْنَ فِيْمَا فَضَّلَهُمُ اللهُ بِهِ مِنَ الْمَنْزِلَةِ وَالشَّرَفِ، وَالتَّقْدِيْمِ فِي الذِّكْرِ وَالرُّتْبَةِ

"Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka rasa hasad kepada kaum muhajirin atas keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, berupa kedudukan dan kemuliaan, serta penyebutan dan kedudukan"

Ibnu Taimiyyah berkata, "Antara kaum Al-Aus dan Al-Khozroj terjadi persaingan dalam agama. Maka jika sebagian mereka melakukan apa yang menjadikan mereka mulia di sisi Allah dan RasulNya maka yang lainnya juga senang untuk melakukan yang semisalnya, dan ini merupakan persaingan yang mendekatkan mereka kepada Allah sebagaimana firman Allah

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)

"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba" (Al-Muthoffiifin : 26) (Majumuu' Al-Fataawaa 10/20)



Yang Bukan Termasuk Hasad

Pertama : Al-Ghibtoh

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

"Tidak ada hasad kecuali pada dua orang, seseorang yang Allah anugrahkan harta lantas ia menghabiskan hartanya untuk kebenaran, dan seseorang yang dianugerahkan Allah al-hikmah maka ia pun memutuskan perkara dengan hikmah tersebut dan mengajarkannya" (HR Al-Bukhari no 73 dan Muslim no 816) 

Kedua : Ar-Roozi berkata, "Seluruh bentuk hasad haram hukumnya, kecuali hasad kepada kenikmatan yang ada pada seorang kafir atau seorang fajir yang menggunakan kenikmatan tersebut untuk keburukan dan kerusakan. Maka tidak memberikan mudhorot bagimu (tidak mengapa) jika engkau menyukai hilangnya kenikmatan tersebut. Karena tidaklah engkau menghendaki hilangnya kenikmatan karena  dzat kenikmatan tersebut, akan tetapi karena digunakannya kenikmatan tersebut untuk kerusakan, keburukan, dan mengganggu orang lain" (At-Tafsiir Al-Kabiir 3/238)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 29-05-1433 H / 21 April 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Senin, 07 Mei 2012

Kiat Agar Telindung dari Sihir


Sihir adalah sebuah kata yang kerap akrab di telinga kita. Siapa yang tidak tahu tentang sihir, bahkan sekarang sihir telah menjadi suatu hiburan, wallahul musta’an. Padahal jika kita mau menela’ah lebih dalam apa itu sihir, pasti akan kita dapati bahaya yang sangat besar, terutama bahaya terhadap aqidah seorang muslim.
Apa Itu Sihir?
Sihir secara bahasa digunakan untuk segala sesuatu hal yang sebabnya samar, lembut dan tidak jelas. Adapun secara istilah, dikarenakan sihir memiliki berbagai macam bentuk dan caranya berbeda-beda, maka tidak ada definisi yang lengkap mencakup makna sihir. Di dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4: 444) dijelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya sihir itu secara istilah tidak mungkin di definisikan dengan satu definisi yang lengkap mencakup semua jenis sihir dan mencegah yang bukan termasuk bagian sihir untuk masuk ke dalam bagian dari definisi tersebut, dikarenakan jenisnya yang banyak dan berbeda-beda yang masuk ke dalam istilah sihir. Tidak akan terwujud titik kesamaan di antara jenis sihir yang bisa mencakup semua macam jenis dan mencegah hal-hal yang termasuk sihir untuk masuk ke dalam definisi sihir. Dan ‘ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan istilah tersebut, dengan perbedaan yang sangat mencolok.”
Bahaya Sihir
Sesuatu yang dimiliki oleh setiap muslim di dunia ini lebih mahal dibanding apa pun adalah agamanya. Orang yang berakal pasti menjaga agamanya dan tidak akan pernah ridha dengan perbuatan yang dapat merusak atau melemahkan atau mengotori aqidahnya. Melakukan sihir dan pergi untuk meminta tukang sihir untuk melakukan sihir dapat membahayakan aqidah, bahkan meminta tukang sihir untuk melakukan sihir menjadi salah satu penyebab batalnya Islam seseorang.
Maka tukang sihir dan orang yang pergi ke tukang sihir untuk minta disihirkan, keduanya dihukumi sama. Dan sihir merupakan suatu keharaman dalam semua ajaran Rasul. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Thaha: 69) Barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka ia telah terjerumus dalam kesyirikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka ia telah Syirik.” (Diriwatkan An-Nasa-i). Disebutkan dalam Fathul Majid (231), “Ini adalah dalil tegas bahwa tukang sihir adalah Musyrik.”
Kiat Agar Terlindung dari Sihir
Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat melindungi dan menjaga kita dari pengaruh sihir
1.      Menjaga Shalat Shubuh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mendirikan shalat shubuh, maka ia berada di dalam jaminan perlindungan Allah” (HR. Muslim). Barangsiapa yang menjaga shalat shubuhnya, maka ia akan mendapat perlindungan dari Allah atas gangguan setan-setan yang ingin melakukan sihir
2.      Membaca Surah Al-Baqarah di Dalam Rumah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bacalah Surah Al-Baqarah! Karena sesungguhnya mengambilnya (membacanya) adalah barakah dan meninggalkannya adalah penyesalan (kerugian), dan sihir tidak akan mampu menghadapinya” (HR. Muslim)
3.      Menjaga Bacaan Mu’awwidzatain (Surah Al-Falaq dan An-Nas) pada Waktu Shubuh dan Petang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membacanya tiga kali pada waktu shubuh dan pada waktu petang, maka tidak ada yang bisa membahayakannya sesuatu apa pun.” (HR. Abu Dawud)
4.      Membaca Ayat Kursi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari)
5.      Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah di malam hari, maka keduanya telah mencukupinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
6.      Memakan Tujuh Buah Kurma ‘Ajwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang memakan tujuh buah kurma ‘Ajwah di pagi hari, maka tidak ada yang bisa membahayakannya pada hari itu, baik racun dan sihir.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sungguh begitu besar bahaya sihir bagi seorang muslim. Sihir tidak hanya membahayakan jiwa seseorang, namun dapat merusak aqidah seseorang. Sehingga bisa menjadi salah satu sebab batalnya keislaman seorang muslim. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari pengaruh buruk sihir dan para tukang sihir

Rujukan: Banyak mengambil faedah dari kitab Ba’i-u Diinihi karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasam

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 03 Mei 2012

Inilah Wahabi Sesungguhnya…

Wajib diketahui oleh setiap kaum Musimin dimanapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan.Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya,mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??
Bagaimanakah sejarah penamaan mereka??
Marilah kita simak dialog Ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas Islam di Maroko.
Salah seorang Dosen itu berkata: ”Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin sangat condong kepadanya,dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Madzhab Wahabi.”
Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: ”Sungguh banyak pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.
Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya .Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”
Dosen itu berkata : ”saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.
Asy Syaikh berkata : ”saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini.”
Dosen itu pun berkata :
”baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi ’yar yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahabiyyun membangun sebuah masjid,”Bolehkan kita Sholat di Masiid yang dibangun olehorang-orang wahabi itu ??”maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:”Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu ’minin, dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin ”.
(wajib kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah ulama ahlusunnah)
Dosen itu berkata lagi :”Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,”
Kemudian Asy Syaikh menjawab : ”Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu !”
Dosen itu berkata: ”anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya ??”
Asy Syaikh menjawab:”dari sampul luarnya saja.”
Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: ”Namanya adalah Kitab Al-Mi’yar,yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H di kota Fas, di Maroko.”
Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya:”wahai syaikh, tolong catat baik- baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al- Lakhmi??”
Dosen itu berkata:
”Ya,”kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.
Kemudian Asy Syaikh berkata : ”Kapan beliau wafat?”
Yang membaca kitab menjawab: ”beliau wafat pada tahun 478 H”
Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: ”wahai syaikh tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi ” kemudian ditulis.
Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata : ”Wahai para masyaikh….!!! Saya ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir) ???? kecuali kalau dapat wahyu????”
Mereka semua menjawab :”Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda !”
Asy syaikh berkata lagi : ”bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab????
Mereka berkata : ”Siapa lagi???”
Asy Syaikh berkata:”Coba tolong perhatikan..!!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, …
Nah,ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belum lahir..bahkan sampai 22 generasi keatas dari beliau sama belum yang lahir..apalagi berdakwah..
KAIF ??? GIMANA INI???
(Merekapun terdiam beberapa saat..)
Kemudian mereka berkata:”Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut ??” mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan, kami ingin mengetahui yang sebenarnya !”
Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang : ”Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis ?”
Dosen itu berkata:”Ya ini ada,”
Asy Syaikh pun berkata :”Coba tolong buka di huruf “ wau” ..maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “ Wahabiyyah”
Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang biografi firqoh wahabiyyah itu.
Dosen itu pun membacakannya: ”Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al- Abadhi, Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlussunnah.
Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata : ”Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki. Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-, maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul.
Syubhat yang tersebar dinegeri-negeri Islam ini dipropagandakan oleh musuh- musuh islam dan kaum muslimin dari kalangan penjajah dan selain mereka agar terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin.
Sesungguhnya telah diketahui bahwa dulu para penjajah menguasai kebanyakan negeri-negeri islam pada waktu itu,dan saat itu adalah puncak dari kekuatan mereka. Dan mereka tahu betul kenyataan pada perang salib bahwa musuh utama mereka adalah kaum muslimin yang bebas dari noda yang pada waktu itu menamakan dirinya dengan Salafiyyah. Belakangan mereka mendapatkan sebuah pakaian siap pakai, maka mereka langsung menggunakan pakaian dakwah ini untuk membuat manusia lari darinya dan memecah belah diantara kaum muslimin, karena yang menjadi moto mereka adalah “PECAH BELAHLAH MEREKA, NISCAYA KAMU AKAN MEMIMPIN MEREKA ”

Benarkah Sholahuddin Al-Ayyubi Pencetus Perayaan Maulid Nabi?

Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.
Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi. Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?

Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.
Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.
Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al ‘Ibda’ hal.126.
Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?
Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula ini adalah salah seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.
Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda.
Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi ‘Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]
Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir. Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan penuh kemewahan.
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]
Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.
Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”
Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.
Oleh : Al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 09 Thn.XIII, Robi’uts Tsani 1430/April 2009, Hal.57-58 [di salin dari: http://alqiyamah.wordpress.com/]

Bid’ah Menurut Imam Syafi’i

Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghuluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dhalalah) dalam terminologi syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata: ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an!’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : “Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anha:
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma:
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’: Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan: “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan:
سمعت مالكا يقول : “من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا”
“Aku mendengar Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas:
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan:
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).
Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417]