Prolog
Segala puji bagi Allah Robb semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, istri-istrinya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti jalannya hingga hari akhir nanti.
Enam tahun yang silam di salah satu pesantren terbesar di Indonesia,
penulis menjadi salah satu peserta dauroh yang diadakan oleh
Jami’ah Islamiyah
Madinah. Kebetulan ada suatu kisah yang tidak terlupakan hingga detik
ini. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, para dosen (baca:
masyayikh) mengabsen peserta dauroh satu persatu. Hingga sampai ke suatu
nama, dosen tersebut mengernyitkan dahinya dan terheran-heran, nama itu
adalah Ayatullah Khomeini, (kebetulan dia salah seorang teman akrab
penulis di pesantren). Dosen itu bertanya,
“Kamu sunni (termasuk golongan ahlus sunnah)?”, dengan tenangnya peserta itu menjawab,
“Iya”, “Mengapa kamu pakai nama dedengkot Syiah?”, “Karena bapak ana ngasih nama seperti itu”, sahutnya. Setelah dialog singkat itu sang dosen minta agar teman kami tersebut mengganti namanya.
Penulis -dengan lugunya- berkata dalam hati,
“Memangnya kenapa
sich nggak boleh pakai nama tokoh Syi’ah tersebut? Masa gitu saja
dipermasalahkan! Toh dia juga salah satu pejuang besar dunia?!”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan; setahun kemudian penulis
diberi kesempatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntut ilmu di
kota Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tepatnya di
Jami’ah Islamiyah.
Di situlah wawasannya mulai terbuka sedikit demi sedikit,
pengetahuannya tentang kelompok-kelompok yang menisbatkan diri mereka
kepada agama Islam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Hingga
terbelalaklah matanya tatkala mengetahui hakikat kelompok Syi’ah. Dan
hilanglah sudah keheran-heranan dia enam tahun yang silam, mengapa sang
dosen pengajar dauroh itu begitu
‘ngotot’-nya minta agar peserta Ayatullah Khomeini mengganti namanya.
Maka, dalam rangka menyampaikan ilmu walaupun hanya sedikit, juga
berhubung semakin menjamur dan larisnya ajaran itu di tanah air kita,
penulis merasa berkewajiban untuk menyampaikan sedikit dari apa yang
diketahuinya tentang agama yang satu ini. Tulisan ini ditranskrip,
diterjemahkan dan diringkas dari sebuah ceramah ilmiah dalam suatu kaset
yang berjudul
“Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib” (Beberapa
renungan beserta para da’i penyeru persatuan antara Ahlusunnah dengan
Syi’ah) yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah as-
Salafy.
Kaset ini bukan hanya membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama
klasik Syi’ah saja, tapi juga membawakan fakta dari perkataan-perkataan
ulama kontemporer mereka yang suaranya sempat terekam dalam kaset, dan
jatuh ke tangan Ahlusunnah(*). Kami ucapkan kepada para pembaca yang
budiman, Selamat menikmati!
(*)
Perkataan-perkataan ulama klasik mereka kami sebutkan dengan
referensinya beserta nomor jilid dan halamannya. Bagi yang menginginkan
bukti otentik fakta-fakta tersebut bisa merujuk ke kitab Ulama asy-Syi’ah Yaqulun, Watsaiq Mushawwarah Min Kutub asy-Syi’ah,
yang diterbitkan oleh Markaz Ihya Turots Alul Bait. Adapun
perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka jika terdapat dalam suatu
kaset, maka kami sebutkan dengan kata-kata,
“Dengarlah perkataan fulan…” Suara asli mereka bisa didengarkan dalam kaset
Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib.
FAKTA PERTAMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlul Bait (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ
الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah
yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (
keluarga) nya.
Ahlusunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan mengasihi para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu
wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang telah mati
bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah menjunjung
tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar senantiasa
mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita juga
berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu julukan kelompok
Syi’ah. Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer mereka Al Majlisy dalam kitabnya
Bihar al-Anwar hal 68, 96 dan 97. Kata-kata Rafidhah berasal dari
fi’il rafadha yang berarti menolak. Adapun asal muasal mengapa mereka digelari Rafidhah, ada berbagai versi. Antara lain:
- Karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
- Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka
dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari
para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di
dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas
kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan
paling kufur.
Di antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam
mengetahui hal-hal yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di
langit dan di bumi, tidak terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada
dalam hati, apa-apa yang ada dalam tulang belakang kaum pria dan
apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita. Mereka juga mengetahui apa
yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Al Kulainy dalam kitabnya
al-Kaafi -yang mana ini merupakan
kitab yang paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di
dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di
jilid I, hal 261, dia berkata,
“Bab bahwasanya para imam mengetahui
apa yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada
sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah
‘alaihis salam (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata,
“Sesungguhnya
aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui
apa-apa yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu
serta yang akan datang.”
Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258,
“Bab bahwasanya para imam mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka sendiri.”
Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka
para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau
mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga
menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia
akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan
kehendak mereka.
Al-Kulainy di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far
‘alaihis salam,
“Apakah
kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab,
“Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”,
jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang
sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena
penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya
‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui pembunuhnya,
“Berdirilah
-dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin Ghassan bin Buhairah
bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya
telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!” Maka berkatalah Abu
Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki
sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari
berkata,
“Aku dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang,
wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang
memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali,
wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah amirul-mu’minin,
“Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.
Berkata al-Kasany dalam kitabnya
‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid II, hal 597,
“Semua
makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari mereka, karena
mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena -tanpa
diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat
hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka.
Para manusia adalah budak-budak mereka!”
Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan bahwasanya Nabiyullah Isa
‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali
rodhiallahu ‘anhu,
“Wahai
para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari kelahiran
Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali
bin Abi Thalib!”
Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya
Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52,
“Sesungguhnya
para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan
terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap
kekuasaan dan pengawasan mereka.”
Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya, Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali,
“Wahai
Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling
agung sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di
hari kiamat. Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan
meraih kemenangan. Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada
di tanganmu, tempat kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan
amalan), shirath (jalan yang mengantarkan para hamba ke surga), dan
al-mauqif (tempat berkumpulnya semua makhluk di hari akhir) semua itu
adalah milikmu. Maka barang siapa yang bersandar kepadamu, niscaya akan
selamat dan barang siapa yang menyelisihimu niscaya akan celaka dan
binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang Rafidhah untuk pergi ke kuburan Ali
radhiallahu ‘anhu dan meminta kesembuhan darinya, berihram dan thawaf di sekitar kuburannya,
“Wahai
yang berada di bawah kubah putih di kota Najaf! Wahai Ali! Barang siapa
yang berziarah ke kuburanmu dan meminta kesembuhan darimu niscaya dia
akan sembuh!”
Di dalam kitab
Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata,
“Aku
adalah ilmu Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut
Allah yang berbicara, aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah
pinggang Allah, aku adalah tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah,
“Dan
di antara khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku
mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya
sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik
sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan
perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan
buah-buahan. Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan
sungai-sungai. Akulah yang menyimpan ilmu,
akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam, akulah
sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan
di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk
berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan
manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang
menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan
langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si pemegang keputusan yang tidak
dapat diubah, hisab para makhluk berada di tanganku. Para makhluk
menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang mengokohkan gunung-gunung
yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata air, dan yang menciptakan
alam semesta. Akulah yang membangkitkan para mayat, yang menurunkan
kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari, bulan dan bintang. Akulah
yang membangkitkan hari kiamat, yang mengetahui hal yang telah lalu dan
yang akan datang. Akulah yang membinasakan para raja lalim terdahulu dan
yang melenyapkan negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang
membuat gerhana matahari dan bulan. Aku pula yang menghancurkan
fir’aun-fir’aun dengan pedangku ini. Akulah yang ditugasi Allah untuk
melindungi orang-orang lemah dan Allah perintahkan mereka taat
kepadaku.”
Dalam kitab
Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya
Hasan bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab
Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Tatkala
Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin
lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya,
“Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku
kalau bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia,
niscaya Aku tidak akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam
bertanya, “Mereka berdua dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam.
Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam mengangkat kepalanya, dan
ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah
selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak hujjah. Barang
siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia, dan barang
siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan
Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang
siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya
akan Kumasukkan ke dalam neraka!”
Lihatlah wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas ketaatan kepada Allah!!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya
al-Anwar an-Nu’maniyah
(jilid I, hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan
dengan sanadnya kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada
Abu Abdillah
‘alaihis salaam tentang perihal sang imam;
bagaimana ia bisa tahu apa yang ada di penjuru bumi, padahal ia berada
di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab, “Wahai Mufadhal,
sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5 ruh:
- Ruh kehidupan, yang dengannya dia bisa memukul dan naik.
- Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
- Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
- Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
- Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh
sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh
itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada
sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia
bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih
apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia
bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya
al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata,
“Demi
Allah, sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api
dan akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga
bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari
ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat
kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih
dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama
Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya
saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian
aku hembuskan angin baginya.”
Lantas apa yang tersisa untuk Allah?!
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam kitab
Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid I, hal 371) dan di dalam kitab
al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan: Dari Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah,
“Barang
siapa yang ziarah ke makam Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban,
malam Idul Fitri dan malam hari Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah
akan tuliskan baginya pahala 1000 ibadah haji
yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang diterima dan akan dikabulkan
baginya 1000 doa yang berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan dia di dunia
dan akhirat.”
Bahkan menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu
lebih utama daripada orang-orang yang berada di padang Arafah. Dalam
kitab
Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid X,hal 361) dan kitab
Tahdzib al-Ahkam
karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid VI, hal 42) disebutkan: Dari Ali bin
Asbath, dari sebagian sahabat-sahabat kami, dari Abu Abdillah ‘alaihi
salam bahwa dia ditanya,
“Benarkah Allah mendahulukan ‘menengok’
para peziarah makam Ali bin Husain ‘alaihi salam sebelum ‘menengok’
orang-orang yang berada di padang Arafah?”,
“Betul” jawabnya. Lantas dia kembali ditanya,
“Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab,
“Karena
di antara orang-orang yang berada di padang Arafah terdapat anak-anak
hasil perzinaan, adapun para penziarah makam Husain seluruhnya suci
tidak ada satupun anak hasil perzinaan.” (Bagaimana mungkin mereka
menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal
zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu
ritual ibadah yang paling utama?!! (-pen).
Na’udzubillah!
Dalam kitab
Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal 372) disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam berkata,
“Barang
siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis salam pada hari
‘Asyura sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan dia telah
menziarahi Allah di ‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!
FAKTA KEDUA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Al Quran.
Semua umat Islam telah berijma’ bahwasanya kitab Allah selalu terjaga
dari pengubahan, penambahan ataupun pengurangan. Ia terjaga dengan
penjagaan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Para ulama besar Ahlusunnah telah menegaskan bahwa barang siapa yang
meyakini di dalam Al Quran terdapat tambahan atau kekurangan, maka
sesungguhnya ia telah dianggap keluar dari agama Islam (murtad). Akidah
ini sudah amat sangat masyhur dan mutawatir di kalangan Ahlusunnah,
sampai-sampai tidak lagi dibutuhkan seseorang untuk mendatangkan
dalil-dalil tentangnya. Berkata Ibnu Qudamah dalam kitab
Lum’ah al-I’tiqad (hal 19),
“Tidak
ada perbedaan pendapat di antara umat Islam, bahwa barang siapa yang
mengingkari satu surat, atau satu kata, atau satu huruf dari Al Quran
yang telah disepakati, maka sesungguhnya dia telah kafir.”
Syi’ah dan Keyakinan Mereka Tentang Tahrif (distorsi, pengubahan) Al Quran
Ulama-ulama Syi’ah yang paling menonjol yang berpendapat bahwa Al
Quran telah mengalami distorsi adalah: Al-Kulainy, al-Qummy, al-Mufid,
ath-Thobarsy, al-Kaasyany, al-Jazairy, al-Majlisy, al-’Amily,
al-Khuu’iy, dan masih banyak yang lainnya.
Pertama:
Mari kita mulai dari al-Kulainy pengarang kitab
al-Kaafi,
kitabnya yang paling terpercaya di kalangan orang-orang Rafidhah.
Pengarang berkata dalam jilid II, hal 634, ((Dari Hisyam bin Salim dari
Abu Abdillah
‘alaihis salam ia berkata,
“Sesungguhnya Al Quran yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari 17.000 ayat”)).
Padahal sepengetahuan kita ayat-ayat Al Quran hanya berjumlah 6.000
ayat lebih sedikit. Riwayat kedua disebutkan dalam (jilid I, hal 228).
Riwayat ketiga disebutkan dalam (jilid I, hal 228).
Riwayat keempat disebutkan dalam jilid I, hal 229: ((Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ia berkata,
“Sesungguhnya yang berada di tangan kami adalah mushaf Fathimah. Tahukah kalian apa itu mushaf Fathimah?” Aku bertanya,
“Apa itu mushaf Fathimah?” Ia menjawab,
“Mushaf
Fathimah tebalnya tiga kali lipat Al Quran kalian. Demi Allah tidak ada
satu huruf pun dari Al Quran kalian, disebutkan di dalam mushaf
Fathimah!”)).
Kedua:
Di antara ulama Rafidhah yang berpendapat bahwa Al Quran telah
mengalami distorsi; Ali bin Ibrahim al-Qummy yang berkata dalam
tafsirnya (jilid I, hal 36): ((Di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala
(yang artinya):
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110). Berkata Abu Abdillah kepada yang membaca ayat ini,
“Umat yang terbaik, lantas membunuh amirul mukminin Hasan dan Husain bin Ali ‘alaihima salam??” Lantas ada yang bertanya,
“Bagaimana sebenarnya ayat tersebut diturunkan wahai putra Rasulullah?” Dia menjawab,
“Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian para imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia)”)).
Ketiga:
Ni’matullah al-Jazairy dalam jilid II, hal 363.
Keempat:
Al-Faidl al-Kaasyaany salah seorang ahli
tafsir mereka yang tersohor dan pengarang
Tafsir ash-Shafy,
berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 49), ((Kesimpulan yang dapat
diambil dari berita-berita ini dan riwayat-riwayat lainnya yang berasal
dari ahlul bait ‘alaihis salam bahwasanya Al Quran yang ada di hadapan
kita ini tidaklah sempurna, sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akan tetapi di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa
yang diturunkan oleh Allah. Di dalamnya ada yang diubah dan banyak pula
yang telah dihapus; seperti nama Ali dari berbagai ayat, lafadz
aalu (
keluarga) Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
nama-nama kaum munafikin dan hal-hal lainnya. Juga Al Quran tersebut
tidak sesuai dengan susunan yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam)).
Kelima:
Ahmad bin Manshur Ath-Thabarsy dalam kitabnya
al-Ihtijaj
(jilid I, hal 55) telah menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala
tatkala menceritakan kisah-kisah yang berkenaan dengan dosa-dosa dalam
Al Quran, Allah telah menyebutkan secara terang-terangan nama para
pelaku dosa tersebut. Akan tetapi para sahabat telah menghapus nama-nama
tersebut, jadilah kisah-kisah itu disebutkan tanpa nama-nama pelakunya.
Keenam:
Berkata Muhammad bin Baqir Al Majlisy dalam kitabnya
Bihaar al-Anwar
(jilid 89, hal 66): ((Bab distorsi dalam ayat-ayat Al Quran, sehingga
tidak sesuai lagi dengan apa yang diturunkan oleh Allah)).
Ketujuh:
Muhammad bin Muhammad an-Nu’man yang dijuluki
al-Mufid dalam kitabnya
Awaail al- Maqaalaat (hal 91).
Kedelapan:
Abul Hasan Al ‘Aamily dalam muqaddimah kedua dari kitab tafsirnya
Mira’ah al-Anwar wa Misykaah al-Asraar
(hal 36) menyatakan, ((Ketahuilah, sesungguhnya Al Haq yang kita tidak
bisa elakkan -berdasarkan kabar-kabar yang mutawatir ini dan lainnya-
bahwa Al Quran yang ada di hadapan kita, telah diubah sepeninggal
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya
orang-orang yang mendapatkan tugas untuk menyampaikan Al Quran telah
menghapus banyak kata-kata dan ayat-ayat)).
Kesembilan:
Abul Qasim al-Khuu’iy (Ulama kontemporer
syiah) dalam kitabnya
al-Bayan (hal 236).
Dengarlah Adnan al-Waa’il yang memberikan contoh salah satu distorsi yang dialami Al Quran: ((Ketika turun ayat (yang artinya)
“Hai
para rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang Ali. Dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak
menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia.” (QS Al Maaidah: 67)).
FAKTA KETIGA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai para sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummahatul mu’minin.
Keutamaan sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan tingginya kedudukan serta derajat mereka, sudah merupakan sesuatu
yang diketahui oleh semua orang. Hal itu juga termasuk hal-hal yang
diketahui dari agama Islam secara dharurah. Ini disebabkan karena
melimpahnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, baik dari Al
Quran maupun As
Sunnah. Sekarang bukan waktunya untuk menyebutkan semua dalil-dalil itu, akan tetapi barangkali kami akan menyebutkan sebagian saja:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
((مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى
الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ
فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ
أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي
الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)) الفتح:29
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama
dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang
sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah
dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka, tampak pada muka mereka dari
bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti
tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya;
tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
Ayat yang mulia ini mencakup seluruh sahabat karena mereka semua bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menguatkan apa yang telah lalu:
hadits
yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim; dari al-A’masy, dari Abu
Shalih, dari dari Abu Sa’id dia berkata: ((Pada suatu saat terjadi suatu
masalah antara Khalid bin Walid dengan Abdurrahman bin ‘Auf, lantas
Khalid memaki Abdurrahman. Ketika mendengar hal itu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian memaki
salah seorang dari sahabatku, sesungguhnya jika salah seorang dari
kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan dapat
menyamai (pahala) satu genggam atau setengah genggam (nafkah) salah
seorang dari mereka.” Hadits ini juga mencakup seluruh sahabat, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku.”
Syi’ah dan Penghinaan Mereka Terhadap Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam kitab
ar-Raudhah min al-Kafi (hal 245) disebutkan, ((Dari Hanan, dari bapaknya, dari Abu Ja’far
‘alaihis salam, ia berkata,
“Sesungguhnya para manusia telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang.” Lantas aku bertanya:
“Siapakah tiga orang itu?” Dia menjawab:
“Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifary dan Salman al-Farisy.”)).
Ash-Shafy dalam tafsirnya (jilid V, hal 28) berkata, ((Dari
Abdurrahman bin Katsir, dari Abu Abdillah, dalam firman Allah (yang
artinya),
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada
kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah
menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan
mereka.” (QS. Muhammad: 25). Dia berkata,
“fulan dan fulan”, yang dia maksud adalah Abu Bakar dan Umar)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya
al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 53), ((Telah diriwayatkan dalam berita-berita khusus bahwa tatkala Abu Bakar sholat di belakang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menggantungkan berhala di lehernya, dan sujudnya adalah untuk berhala itu)).
Na’udzubillah dari kedustaan ini!
Dengarlah salah seorang syaikh orang Syi’ah yang tanpa tedeng
aling-aling melaknat Ash Shiddiq, ((Para ulama Syi’ah telah bersaksi
bahwa ada riwayat-riwayat valid yang kevalidannya melahirkan dalil-dalil
atas si penjahat Abu Bakar, hal tersebut karena adanya dia di masjid
dan kembalinya dia dari pasukan pertama. Kedua melanggar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga tidak sholatnya dia bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dengarlah wahai siapa yang berkata,
Tidak boleh melaknat. Semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah
melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dan semoga Allah
melaknat Umar dan para pembangkang lainnya! Semoga Allah melaknat siapa
saja yang tidak rela dengan dilaknatnya mereka! Kebencian-kebencian umat
ini…)).
Dengan busuknya Ni’matullah al-Jazary berkata dalam kitabnya
al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 63), ((Konon Umar terkena penyakit di duburnya dan tidak bisa disembuhkan kecuali dengan air mani para lelaki)).
Berkata Zainudin al-Bayadhy dalam kitabnya
ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 129), ((Sebenarnya Umar itu telah menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan keislaman)).
Dalam kitab
al-Anwar an-Nu’maniyah milik Ni’matullah
al-Jazairy (jilid I, hal 81) disebutkan, ((Telah disebutkan dalam
riwayat-riwayat khusus bahwasanya syaitan dibelenggu dengan 70 belenggu
dari besi jahanam lantas digiring ke padang mahsyar, tiba-tiba
sesampainya di sana dia melihat seseorang di depannya yang ditarik oleh
malaikat azab dan di lehernya terdapat 120 belenggu dari
belenggu-belenggu jahanam, dengan terheran-heran syaitan itu mendekat
lantas bertanya,
“Apa yang dikerjakan orang yang amat malang ini
hingga siksaannya jauh lebih berat dariku? Padahal aku telah menyesatkan
para makhluk hingga aku masukkan mereka ke dalam pintu-pintu
kebinasaan.” Maka berkatalah Umar (Maksudnya makhluk malang yang
dibelenggu dengan 120 rantai neraka jahanam adalah amirul mu’minin Umar
bin Khattab
radhiallahu ‘anhu! Qaatalahumulloh! -pen) kepada si syaitan,
“Tidak ada yang kukerjakan melainkan hanya merampas kekhilafahan Ali bin Abi Thalib.”)).
Di antara yang dituduhkan gerombolan orang-orang
Rafidhah terhadap amirul mukminin Utsman bin Affan
radhiallahu ‘anhu; apa yang disebutkan oleh Zainuddin al-Bayadhy dalam kitabnya
ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim
(jilid III, hal 30), ((Pada suatu saat di zaman Utsman didatangkan
seorang perempuan untuk dihukum hadd, lantas oleh Utsman perempuan
tersebut dizinai terlebih dahulu baru kemudian diperintahkan untuk
dirajam)).
Belum puas Rafidhah dengan tuduhan keji ini, bahkan dalam kitab yang
sama dan halaman yang sama disebutkan bahwa Utsman itu termasuk
orang-orang yang dipermainkan (para laki-laki) dan bertingkah laku
seperti perempuan, serta suka main rebana.
Dengarlah bagaimana Hasan ash-Shaffar berbangga karena Rafidhah-lah yang telah membunuh Utsman
radhiallahu ‘anhu, ((Sesungguhnya Syiah-lah yang telah membunuh Utsman, semoga Allah memberikan pahala yang baik buat mereka)).
Al-Majlisy dalam kitabnya
Bihaar al-Anwar (jilid XXX, hal
237) berkata, ((Kisah-kisah yang menerangkan kekafiran Abu Bakar dan
Umar, penyelewengan mereka, serta pahala orang yang melaknat dan
berlepas diri dari mereka dan dari bid’ah-
bid’ah mereka amat sangat banyak untuk disebutkan dalam satu jilid atau dalam buku yang berjilid-jilid lainnya)).
Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid III, hal 20) surat an-Nahl:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. An Nahl: 90)
Al-’Ayasyi berkata:
Al- Fahsyaa (perbuatan keji) yaitu yang pertama (maksudnya Abu Bakr),
al-Munkar (kemungkaran) yaitu yang kedua (maksudnya Umar al-Faruq),
al-Baghy (permusuhan) yaitu yang ketiga (maksudnya: Utsman bin Affan).
Semoga Allah meridhai seluruh shahabat.
Bahkan al-Majlisy dalam (jilid XXX, hal 235) menukil dari
Tafsir al-Qummy dalam firman Allah ta’ala,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
“Katakanlah: aku berlindung dari Rabb al Falaq.”
Al-Falaq adalah kawah di Jahanam, seluruh penghuni neraka memohon
perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya, lantas kawah
itu minta izin untuk bernafas, maka diizinkanlah, akibatnya terbakarlah
neraka jahanam. Dan di dalam kawah tersebut ada sebuah peti yang mana
penghuni kawah tersebut memohon perlindungan kepada Allah darinya karena
saking panasnya. Peti itulah yang dinamakan Tabut. Di dalam Tabut itu
ada enam orang terdahulu dan enam orang yang hidup setelah zaman mereka.
Adapun enam orang yang hidup setelah zaman mereka adalah: nomor
pertama, kedua, ketiga dan keempat. Nomor pertama maksudnya Abu Bakar,
yang kedua maksudnya Umar, yang ketiga Utsman dan yang keempat Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhum.
Al-Majlisy berkata dalam (jilid XXX, hal 237), ((Keterangan tentang
dua orang Arab badui yang pertama dan kedua -yakni Abu Bakar dan Umar-,
yang tak pernah beriman kepada Allah sekejap mata pun)).
Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup Rafidhah sampai sini, bahkan mereka melampaui batas hingga ‘menyerang’
Ummahatul Mukminin. Berkata Ja’far Murtadho dalam bukunya
Hadits al-Ifk
(hal 17), ((Sesungguhnya kami meyakini, sebagaimana (keyakinan) para
ulama-ulama besar kami pakar pemikiran dan penelitian, bahwa isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpeluang untuk kafir sebagaimana istri Nuh dan istri Luth)), dan yang dimaksud istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah ‘Aisyah. Hasyim al-Bahrany berkata dalam tafsirnya
al-Burhan (jilid IV, hal 358) surat at-Tahrim, ((Berkata Syarafuddin an-Najafy, “Diriwayatkan dari Abu Abdillah
‘alaihis salam bahwa dia berkata dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (QS. At Tahrim: 10)
Perumpamaan ini Allah buat untuk Aisyah dan Hafshah, karena keduanya demo terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuka rahasianya)).
Ali bin Ibrahim al-Qummy berkata, ((Lantas Allah membuat perumpamaan untuk ‘Aisyah dan Hafshah dan berkata,
“Allah
membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.
Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba-hamba kami, lalu
kedua istri itu berkhianat.” Demi Allah yang dimaksud dengan berkhianat tidak lain hanyalah berzina (
na’udzubillah).
Niscaya akan dilakukan hukum had atas fulanah (yang dia maksud adalah
‘Aisyah) atas apa yang dikerjakannya di jalan Bashrah. Dikisahkan bahwa
fulan (yang dia maksud Thalhah) mencintai ‘Aisyah. Tatkala ‘Aisyah akan
safar ke Bashrah, berkatalah Thalhah,
“Kamu itu tidak boleh safar kecuali dengan mahram.” Lantas Aisyah mengawinkan dirinya dengan fulan, dalam suatu naskah disebutkan dengan Thalhah)).
Berkata Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid XXXII, hal 286)
surat Ali Imran, dari Abdush Shamad bin Basyar dari Abi Abdillah
radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Tahukah kalian Nabi itu meninggal atau dibunuh? Sesungguhnya Allah berfirman,
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad).” (QS. Ali Imran: 144). Sesungguhnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah diracuni sebelum wafatnya, dan mereka berdualah yang meracuninya
(yakni ‘Aisyah dan Hafshah)! Sesungguhnya dua perempuan tersebut dan
bapak mereka adalah sejahat-jahat ciptaan Allah!
Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup al-Majlisy sampai di situ, bahkan dia berkata dalam kitabnya
Bihar al-Anwar (jilid XXXII, hal 286), ((Dari Salim bin Makram dari bapaknya ia berkata, Aku mendengar Abu Ja’far
‘alaihis salam berkata di dalam firman Allah,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ
الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتاً وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ
الْعَنْكَبُوتِ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan-perlindungan
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, dan
sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba.” (QS.
Al Ankabut: 41). Laba-laba itu adalah al-Humaira (Aisyah-pen). Kenapa
dimisalkan dengan laba-laba? karena dia adalah binatang yang lemah dan
membuat sarang yang lemah; begitu pula al-Humaira (yakni Aisyah), dia
itu binatang yang lemah, lemah kedudukan dan akal serta agamanya. Hal
itu menjadikan pendapatnya lemah dan akalnya yang tolol, hingga
melakukan pelanggaran dan permusuhan terhadap Tuhannya. Persis dengan
sarang laba-laba yang lemah!))
FAKTA KEEMPAT: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlusunnah.
Tuhan Orang Syi’ah Beda Dengan Tuhan Ahlusunnah
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya
al-Anwar an-Nu’maniyah
(jilid I, hal 278), ((Sesungguhnya kami (kaum Syi’ah) tidak pernah
bersepakat dengan mereka (Ahlusunnah) dalam menentukan Allah, nabi
maupun imam. Sebab mereka (Ahlusunnah) mengatakan bahwa Tuhan mereka
adalah Tuhan yang menunjuk Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar
sebagai pengganti Muhammad sesudah beliau wafat. Kami (kaum syi’ah)
tidak setuju dengan Tuhan model seperti ini, juga kami tidak setuju
dengan model nabi yang seperti itu. Sesungguhnya Tuhan yang memilih Abu
Bakar sebagai pengganti nabi-Nya, bukanlah Tuhan kami. Dan nabi model
seperti itu pun bukan nabi kami!)).
Na’udzubillah dari kekufuran dan kesesatan ini!!!
Pengertian an-Naashib Dalam ‘Kamus’ Rafidhah
An-Nawaashib mufradnya
naashib. Definisinya menurut
Ahlusunnah adalah: Orang-orang yang mengalahkan serta melaknat Ali dan
keluarganya. Sedangkan definisinya versi orang-orang Syi’ah:
An-Nawashib adalah Ahlusunnah yang mencintai Abu Bakar, Umar dan para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya
radhiallahu ‘anhum.
Husain Aal ‘Ushfur ad-Darraz al-Bahrany dalam kitabnya
al-Mahasin an-Nafsaniyah Fi Ajwibati al-Masail al-Khurasaniyah (hal 147) berkata, ((Berita-berita yang bersumber dari para imam
‘alaihis salam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
an-Nashib
adalah yang biasa dipanggil dengan julukan Sunni)). Dia juga berkata,
((Tidak perlu lagi dipermasalahkan bahwa yang dimaksud dengan
an-Nashibah adalah Ahlusunnah)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya
al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid II, hal 306-307), ((Adapun orang
Nashibi, kondisi dan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka bisa dijelaskan dalam dua hal: Pertama, siapakah yang dimaksud dengan
an-Nashib
yang diceritakan dalam berbagai riwayat mereka itu lebih jahat dari
orang Yahudi, Nashrani dan Majusi. Yang juga mereka itu kafir dan najis
menurut ijma’ para ulama imamiyah… Dan telah diriwayatkan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di antara ciri khas orang-orang
Nawashib
adalah: mendahulukan selain Ali atasnya)). Perkataan orang satu ini
menunjukkan bahwa setiap yang mendahulukan kepemimpinan Abu Bakar, Umar
dan Utsman sebelum kepemimpinan Ali
radhiallahu ‘anhu, maka dia adalah
Nashibi menurut versi orang-orang Rafidhah; padahal orang-orang
Nashibi itu menurut mereka lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi, bahkan dianggap kafir dan najis!!!
Na’udzubillah!!
Kaum Rafidhah Menghalalkan Harta dan Nyawa Ahlusunnah
Berkata Yusuf al-Bahrany dalam kitabnya
al-Hadaaiq an-Naadhirah Fii Ahkaam al-’Itrah ath- Thaahirah (jilid XII, hal 323), “Sesungguhnya anggapan bahwa
an-Nashib
itu muslim, dan juga anggapan bahwa agama Islam tidak membolehkan untuk
mengambil harta mereka, ini semua tidak sesuai dengan ajaran kelompok
yang benar (maksudnya Syi’ah -pen) mulai dari dahulu sampai sekarang,
yang mana mereka itu mengatakan bahwa
an-Nashib itu kafir dan najis serta boleh diambil hartanya bahkan dibenarkan untuk dibunuh.”
Dalam kitab
Wasail asy-Syi’ah karangan al-Hur al-’Amily (jilid XVIII, hal 463) disebutkan, ((Berkata Dawud bin Farqad, Aku bertanya kepada Abu Abdillah
‘alaihis salam,
“Apa pendapatmu tentang an-Nashib?” Dia menjawab,
“Halal
darahnya (nyawanya -pen) tapi aku bertaqiyyah (Lihat maksud dari
istilah taqiyyah di epilog dari tulisan ini -pen). darinya. Seandainya
engkau bisa membunuhnya dengan cara meruntuhkan suatu tembok atasnya
atau kamu tenggelamkan dia, supaya tidak ketahuan bahwa kamulah
pembunuhnya, maka lakukanlah!”)). Aku bertanya lagi,
“Lantas bagaimana dengan hartanya?” Dia menjawab,
“Musnahkanlah hartanya semampumu!”)).
Dalam kitab
ar-Raudhah min al-Kafi (hal 285) disebutkan, ((Dari Abu Hamzah, Aku bertanya kepada Abu Ja’far
‘alaihis salam,
“Sebagian kawan-kawan kami memfitnah dan menuduh yang tidak-tidak terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka?” Dia menjawab,
“Lebih
baik engkau tinggalkan perbuatan itu! Demi Allah wahai Abu Hamzah
sesungguhnya seluruh manusia adalah anak-anak pelacur kecuali para
pendukung kita!!”)). Yang dia maksud adalah: bahwa semua manusia
adalah anak-anak hasil perzinaan kecuali orang-orang Syi’ah (Bagaimana
mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil
perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap
merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! -pen).
Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Orang-Orang Rafidhah Mengkafirkan Golongan Ahlusunnah
Al-Faidl al-Kasyany dalam kitabnya
Minhaj an-Najah (hal 48) berkata,
“Barang
siapa yang mengingkari keimaman salah seorang dari mereka (yakni para
imam yang dua belas) maka sesungguhnya dia itu sama dengan orang yang
mengingkari kenabian seluruh para nabi.”
Berkata al-Maamaqaany dalam kitabnya
Taudhih al-Maqaal (jilid I, hal 208), “Kesimpulan yang dapat diambil dari kitab-kitab, bahwa setiap yang tidak bermazhab
itsna ‘asyar (syi’ah) akan diterapkan baginya hukum orang kafir dan musyrik di akhirat.”
Dengarlah orang-orang
Rawafidh
yang terang-terangan melaknat para ulama Islam seperti Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dan Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah:
“Ini syeikh Bin Baz, kalian anggap dia itu syaikh?! Wahai
orang-orang yang najis!, orang-orang yang kotor!, wahai para pengikut
Ibnu Taimiyyah si anjing itu! Wahai para pengikut Bin Baz al-Munafiq si
buta mata dan hati! Semoga Allah melaknat dia!!! Semoga Allah melaknat
dia!! Anjing kalian ikuti?!, kalau bukan karena kalian binatang niscaya
kalian tidak akan mengikuti binatang, babi seperti Bin Baz!!!)).
Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Keyakinan Rafidah Mengenai Al-Mahdi Yang Dinanti-nantikan
Ahlusunnah meyakini bahwa di akhir zaman nanti akan muncul seorang
dari ahlul bait, Allah kokohkan dengannya agama Islam, dia berkuasa
tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi
dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman. Bumi menumbuhkan
tumbuh-tumbuhannya, langit menurunkan hujannya, harta melimpah ruah
tanpa batas.
Adapun Rafidhah, maka telah terjadi kontradiksi dalam keyakinan
mereka tentang al-Mahdi; terkadang mereka mengingkari lahirnya al-Mahdi
sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kulainy dalam kitabnya
Ushul al-Kafi (jilid I, hal 505), Ibnu Baabawaih al-Qummy dalam kitabnya
Kamaal ad-Din Wa Tamaam an-Ni’mah (hal 51), juga al-Majlisy dalam kitabnya
Bihaar al-Anwar
(jilid 50, hal 329), bahwa al-Mahdi tidak akan dilahirkan, sebab harta
warisan ayah al-Mahdi yang bernama al-Hasan al-’Askary sudah terlanjur
dibagi-bagi.
Akan tetapi terkadang mereka mengatakan bahwa al-Mahdi telah
dilahirkan, akan tetapi dia masih bersembunyi di suatu tempat yang
bernama gua as-Saamuroi, dan akan muncul kelak di akhir zaman untuk
membantu Syi’ah dan membunuhi musuh-musuh mereka dari kalangan
Ahlusunnah.
Agar kerancuan itu lenyap, akan kita sebutkan perbedaan-perbedaan
antara Mahdinya orang Islam dengan Mahdi yang diklaim oleh orang
Rafidhah.
Pertama, Mahdinya orang Islam bernama Muhammad bin Abdullah, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Namanya (al-Mahdi -pen) sama dengan namaku, dan nama bapaknya (al-Mahdi -pen) juga sama dengan nama bapakku.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzy, serta dishahihkan oleh al-Albany dalam
Misykaat al-Mashabih). Adapun Mahdi yang diakui oleh orang Rafidhah
bernama Muhammad bin al-Hasan al-’Askary sebagaimana yang disebutkan
oleh al-Arbaly dalam kitabnya
Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 226).
Kedua, Mahdinya orang Islam belum dilahirkan hingga sekarang dan dia
akan dilahirkan di akhir zaman. Adapun mahdinya orang Rafidhah
sesungguhnya telah dilahirkan pada tahun 255 H. Berkata al-Arbaly dalam
kitabnya
Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 236),
“Al-Mahdi
lahir pada malam pertengahan Sya’ban tahun 255 H, lantas tatkala berumur
lima tahun dia masuk gua as-Samuroi di Irak. Dan sekarang dia masih
hidup.” Jadi sejak tahun itu sampai hari ini mahdi khurafatnya orang Rafidhah sudah berumur 1168 tahun!!!
Ini syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir berusaha keras untuk membuktikan adanya al-Mahdi khurafat mereka,
“Manusia
itu bisa saja hidup ribuan tahun, ditambah lagi kita tidak mengetahui
umur yang disebutkan dalam Al Quran. Sedangkan umur 70 tahun, 60 tahun,
80 tahun, itu semua umur alami. Umur itu tidak ada yang tahu panjangnya
kecuali Allah. Mungkin saja seseorang hidup seumuran Nuh. Nuh hidup 3000
tahun. Ilmu mutakhir
membuktikan bahwa tidak ada suatu hal yang menghalangi panjangnya umur
seseorang, seandainya Allah menghendaki. Tidak ada perbedaan pendapat
dalam hal ini, karena Allah menciptakanmu tidak hanya untuk hidup 60
tahun kemudian kamu mati, seandainya jika memang belum ada sebab-sebab
kematian. Para ilmuwan berkata: Seandainya manusia selalu berada di atas
metode ilmiah yang tepat di dalam makannya, minumnya, pakaiannya,
tidurnya dan bangunnya, niscaya dia bisa hidup ribuan tahun!”
Ketiga, Mahdinya orang Islam dari keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam keturunan al-Hasan bin Ali
radhiallahu ‘anhu, adapun mahdi yang diklaim oleh Rafidhah itu keturunan al-Husain bin Ali
radhiallahu ‘anhu.
Keempat, Mahdinya orang Islam tinggal selama 7 tahun, adapun Mahdi yang diklaim oleh Rafidhah tinggal selama 70 tahun.
Kelima, Mahdinya orang Islam memenuhi bumi dengan keadilan setelah
sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Adapun Mahdinya orang Rafidhah,
sesungguhnya dia akan membunuhi orang-orang Islam musuh-musuh Rafidhah,
bahkan dia akan menghidupkan kembali ash-Shiddiq dan al-Faaruq; Abu
Bakar dan Umar
radhiallahu ‘anhuma, kemudian menyalib keduanya, juga mencambuk Aisyah dengan cambukan had. Sebagaimana disebutkan dalam kitab
ar-Raj’ah karangan Ahmad al-Ahsaa’iy (hal 161).
Bahkan Mahdinya Rafidhah banyak melakukan pembunuhan di muka bumi ini
terutama orang-orang Quraisy. Sampai-sampai mereka berkata: bahwasanya
al-Mahdi akan membunuh dua pertiga dari penduduk bumi.
Demi Allah, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pekerjaan al-Masih ad-Dajjal! Bahkan dalam
Bihaar al-Anwar (jilid 52, hal 354) disebutkan, ((Telah diriwayatkan dari Abu Ja’far
‘alaihis salam bahwa dia berkata: Hingga kebanyakan manusia berkata:
“Dia bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad, seandainya dia dari keluarga Muhammad, niscaya dia itu akan bersikap lemah lembut.”)).
Keenam, Mahdinya orang Islam menegakkan syariatnya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun mahdinya yang diklaim Rafidhah dia akan menegakkan hukum
keluarga Dawud, bahkan akan menyeru Allah dengan nama Ibraninya. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
Ushul al-Kaafi (jilid I, hal 398).
Ketujuh, Mahdinya orang Islam Allah turunkan dengannya hujan, lantas
bumi menumbuhkan tetumbuhannya. Adapun Mahdinya Rafidhah maka akan
menghancurkan Ka’bah, Masjidil Haram, Masjid Nabawi bahkan akan
menghancurkan semua masjid (yang ada di muka bumi -pen). Sebagaimana
yang disebutkan oleh ath-Thusy dalam kitabnya
al-Gharib (hal 472).
Kedelapan, Mahdinya orang Islam memerangi Yahudi dan Nasrani, sampai
agama betul-betul menjadi milik Allah semata, dan dia beserta nabi Isa
akan membunuh Dajjal. Adapun Mahdinya orang-orang Rafidhah maka dia akan
berdamai dengan orang Yahudi dan Nasrani, lantas menghalalkan darah
orang Islam dan membalas dendam terhadap mereka. Sebagaimana diterangkan
al-Majlisy dalam kitabnya
Bihar al-Anwar (jilid 52, hal 376).
Dengan demikian hilanglah ketidakjelasan perbedaan antara dua mahdi.
Dan tidak mungkin Mahdinya orang Islam dengan Mahdinya orang Rafidhah
itu satu.
Fakta Kelima: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Hari ‘Asyura.
Pada hari ‘Asyura orang-orang Islam menunaikan ibadah puasa, dalam rangka mencontoh Nabi
shallallahu ‘alaihi wassalam.
Kitab-kitab orang Rafidhah juga memerintahkan untuk berpuasa pada hari
‘Asyura, akan tetapi anehnya orang-orang Rafidhah sendiri mengingkari
puasa tersebut, bahkan menuduh bahwa orang-orang kerajaan Umawi-lah yang
membuat-buat riwayat-riwayat palsu yang menghasung
puasa ‘Asyura.
Setiap tahun, pada hari-hari bulan Muharam, terutama tanggal sepuluh,
orang-orang Rafidhah melakukan perbuatan-perbuatan ‘aib yang memalukan;
mulai dari memakai pakaian hitam, mengadakan majelis-majelis Al
Husainiyah, mengadakan ceramah-ceramah dan perkumpulan-perkumpulan yang
diselingi dengan pelaknatan terhadap Mu’awiyah
radhiallahu ‘anhu
dan anaknya Yazid serta kepada bani Umayyah secara keseluruhan. Juga
mereka menganiaya diri mereka sendiri dan memukuli diri mereka dengan
rantai dan pedang. Serta masih banyak penyelewengan-penyelewengan
syariat lainnya, yang mana itu semua dengan dalih mengungkapkan rasa
bela sungkawa dan berkabung atas kematian Husain
radhiallahu ‘anhu.
Dengarlah syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir yang melegalisir aksi orang-orang Rafidhah pada hari ‘Asyura,
“Jangan
kalian dengar orang yang berkata bahwa memukul-mukul kepala dengan
rantai, menampar dan menangis itu haram, sesungguhnya mereka itu tidak
paham agama Islam. Pada asalnya sesuatu itu diharamkan seandainya
membahayakan, kalau membahayakan baru bisa dikatakan haram, dan ini
tidak ada hubungannya dengan memukul-mukul kepala dan memukul-mukul
kaki, siapa bilang itu haram? Mengharamkan sesuatu butuh dalil, karena
pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya halal!!”
Inilah ulama kita yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah yang mengingkari bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran Rafidhah pada hari-hari ‘Asyura dengan perkataannya,
“Orang
yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa dan hari
berkabung, sebagaimana orang-orang Rafidhah yang pada hari itu mereka
memukul-mukul dada-dada dan tubuh-tubuh mereka serta memukul-mukul diri
mereka dengan besi, mencaci maki dan melaknat. Ini semua merupakan
sebagian dari kebodohan, kesesatan serta kebid’ahan mereka yang tercela.
Kita memohon kepada Allah keselamatan dari itu semua. Niyahah
(ratapan), memukul-mukul pipi, serta merobek-robek pakaian, tetap
merupakan perbuatan mungkar, kapan saja dan di mana saja sampai pun pada
hari di mana Husain terbunuh, atau di saat musibah apapun. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan itu dan bersabda,
‘Tidak termasuk dari golongan kami: orang-orang yang memukul-mukul pipi
dan merobek-robek pakaian serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Allah melaknat ash-
Shaliqah, al-Haliqah serta asy-Syaqqah.’ Ash-Shaliqah: adalah orang
yang meraung-raung ketika terjadi musibah, al-Haliqah: yang menggundul
rambutnya, asy-Syaqqah: yang merobek-robek pakaiannya. Ini semua
merupakan kemungkaran, na’udzubillah!. Orang-orang Rafidhah
memperbolehkan aksi-aksi tersebut dengan dalih bahwa itu ungkapan
dukungan terhadap ahlul bait dan sebagai ungkapan kesedihan. Padahal
dengan aksi-aksi tersebut mereka telah menyakiti diri mereka sendiri dan
menjadikan Allah murka terhadap perbuatan buruk tersebut, sebab aksi
itu telah menyelisihi syariat dan merupakan bid’ah yang mungkar.”
Bagaimana mungkin kita bisa bersatu dengan orang-orang yang selalu
mencekoki masyarakatnya setiap tahun dengan perasaan dendam dan dengki
terhadap Ahlusunnah, dengan dalih bahwa Ahlusunnah-lah yang telah
membunuh Husain. Padahal kitab-kitab Syi’ah dipenuhi riwayat-riwayat
yang membuktikan bahwa orang Syia’h Kufah-lah yang telah mengkhianati
Husain
radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sebelumnya mereka telah berkhianat kepada saudara dan bapaknya.
Dalam kitab Maqtal al-Husain karya Abdul Razak al-Mukrim (hal 175) disebutkan: ((Bahwa Husain
radhiallahu ‘anhu berkata:
“Sesungguhnya
merekalah yang telah mengkhianatiku, lihatlah surat-surat yang berasal
dari Kufah ini! Sesungguhnya merekalah yang telah membunuhku!”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab
Muntaha al-Aamal Fi Tarikh an-Nabiy wa al-Aal (jilid I, hal 535).
Bahkan referensi Syi’ah yang tersohor Muhsin al-Amin dalam
A’yaan asy-Syi’ah
(jilid I, hal 32) berkata, “Kemudian 20.000 penduduk Irak yang telah
membai’at Husain mengkhianatinya dan meninggalkannya, padahal tali
bai’at masih tergantung di leher mereka. Kemudian mereka membunuh
al-Husain.”
Dalam kitab
al-Ihtijaj karangan ath-Thabarsy (hal 306) disebutkan, ((Bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan julukan Zainal Abidin berkata:
“Wahai
para manusia, demi Allah tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian-lah
yang telah menulis surat terhadap bapakku, lantas kalian tipu dia?!
Kalian telah berjanji dan membai’at bapakku lantas kalian bunuh dan
terlantarkan dia?! Celakalah kalian atas apa yang telah kalian lakukan.
Bagaimana kelak kalian bisa memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tatkala beliau kelak berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku
dan kalian rusak kehormatanku, sesungguhnya kalian bukanlah dari
golongan kami!’”)).
Dalam kitab Maqtal al-Husain karangan
Murtadha ‘Ayyad (hal 83) dan dalam kitab
Nafs al-Mahmum karangan ‘Abbas Al Qummy (hal 357) disebutkan, ((Tatkala Imam Zainal Abidin
rahimahullah
lewat dan melihat orang Kufah menangis dan meratap (berkabung atas
meninggalnya Husain), beliau membentak mereka seraya berkata,
“Kalian meratapi diri kami??! Lantas siapakah yang membunuh kami? (kalau bukan kalian?? -pen)”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab
al-Ihtijaj karya ath-Thabarsy (hal 304).
Dengarlah ulama kita
Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya tentang Husain
radhiallahu ‘anhu, juga menerangkan sikap Ahlusunnah terhadap fitnah tersebut:
“Tatkala
Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu mendengar berita tentang
kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyah, beliau
keluar dari Mekkah menuju Irak, dengan tujuan menyatukan kalimat kaum
muslimin di atas kebaikan serta menegakkan syariat Islam. Sebagian
saudara-saudaranya dari para sahabat telah menasihatinya agar tidak
pergi, tapi beliau berijtihad untuk berangkat. (Tatkala mendengar
keberangkatan al-Husain) Ubaidullah bin Ziyad mengutus pasukan yang
dipimpin Umar bin Sa’id bin Abi Waqqas, hingga terjadilah peperangan
antara dua pihak. Orang-orang yang bersama Husain saat itu sedikit
sekali yaitu keluarga
dia. Maka terbunuhlah Husain dan banyak korban berjatuhan dari
orang-orang yang bersamanya di suatu tempat yang bernama Karbala.
Ubaidullah bin Ziyad telah bersalah karena perbuatannya, sebenarnya
Husain sudah berkehendak pulang dan meninggalkan fitnah, atau pergi ke
Yazid, atau pergi ke daerah sekitar. Akan tetapi pasukan tersebut terus
memerangi dia sampai akhirnya membunuh dia dan membunuh siapa saja yang
berusaha untuk melindungi dia. Hingga terbunuhlah Husain dalam keadaan
terzalimi dan tidak bersalah. Maka terjadilah musibah besar yang membuka pintu keburukan yang besar! nas’alullah al-’afiyah!”
Mereka (Ubaidullah dkk) telah berbuat salah dengan perbuatan mereka
tersebut, semoga Allah meridhai Husain dan memberi rahmat kepadanya,
kepada kita serta kepada semua kaum Muslimin. Semoga Allah membalas
orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan balasan yang
setimpal. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan-kejahatan Rafidhah
dan perbuatan-perbuatan mereka yang hina, serta Allah kembalikan mereka
ke pangkuan Islam dan petunjuk.
Epilog
Para pembaca yang budiman, setelah kita melakukan ‘pengembaraan’ dari
satu referensi ke referensi yang lain yang berada di perpustakaan
kelompok Syi’ah, penulis ingin menarik perhatian para pembaca kepada dua
perkara penting yang erat kaitannya dengan pembahasan kita kali ini.
Dua hal itu adalah:
Pertama- Kami rasa setiap yang membaca makalah ini akan bisa langsung
menarik kesimpulan betapa sesatnya kelompok yang satu ini, bahkan dia
bisa mengatakan bahwa yang menganut keyakinan tersebut di atas tidak
lagi bisa dianggap beragama Islam. (Bahkan ada salah seorang awam yang
tatkala membaca awal makalah ini, tidak bisa mengeluarkan kata-kata
kecuali hanya:
“Ini kelompok dholal (sesat) banget sich!”).
Yang ingin kami jelaskan di sini: Sedemikian sesatnya kelompok Syi’ah
ini, masih ada -sampai detik ini- orang-orang yang berusaha dengan
gigihnya untuk menyatukan antara Syi’ah dan Ahlusunnah di bawah satu
payung, dan mengatakan bahwa perbedaan kita dengan Syi’ah hanyalah
seperti perbedaan antara empat mazhab Ahlusunnah; Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali. Entah karena mereka tidak tahu kesesatan Syi’ah
atau karena pura-pura tidak tahu.
Wallahua’lam… Kalau tidak
tahu kenapa berbicara, bukankah orang yang tidak tahu sebaiknya diam
saja? Kalaupun tahu kenapa tidak menerangkan hakikat kelompok Syi’ah itu
kepada pengikutnya??
Berikut penulis bawakan statemen-statemen pembesar kelompok
pergerakan ini yang terang-terangan berusaha menyatukan antara
Ahlusunnah dan Syi’ah (Silahkan baca: ibid hal: 238-268, dan
al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim bin Sulthan al-’Adnani, hal: 68-71)
Mari kita mulai dengan perkataan pendiri kelompok ini
Hasan al-Banna rahimahullah,
“Ketahuilah
bahwa Ahlusunnah dan Syi’ah semuanya termasuk kaum muslimin, mereka
disatukan dengan kalimat La ilaaha illAllah wa anna Muhammadan
Rasulullah (Padahal syahadat orang Syi’ah mereka tambahi dengan: wa anna
‘aliyyan waliyyullah washiyyu rasulillah wa khalifatuhu bila fashl.
Silahkan lihat cover buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, karya as-Sayyid
Mandzur Husain -pen), ini adalah inti aqidah,
Sunah dan Syi’ah sepakat di dalamnya, dan di atas kesucian. Adapun
perkara khilaf antara keduanya, maka itu termasuk perkara-perkara yang
bisa kita dekatkan antara keduanya.” (
Dzikrayat La Mudzakkirat hal 249-250).
Umar at-Tilmisani
rahimahullah berkata dalam suatu makalah dia
asy-Syi’ah Wa as-Sunnah,
“Usaha penyatuan antara Syi’ah dan Sunnah merupakan kewajiban para ahli fikih zaman ini.” (Majalah
ad-Da’wah al-Mishriyyah edisi 105, Juli 1985 M). Dalam kitabnya yang lain disebutkan,
“Syi’ah
itu suatu kelompok yang kira-kira mirip dengan empat mazhab dalam
Ahlusunnah… Memang di sana ada berbagai perbedaan, akan tetapi mungkin
untuk dihilangkan, seperti: nikah mut’ah, jumlah istri seorang muslim
-dan itu terdapat di sebagian sekte kelompok mereka- dan lain
sebagainya. Yang mana perbedaan-perbedaan tersebut tidak seharusnya
menjadikan perpecahan antara Sunnah dan Syi’ah.” (
Al-Mulham al-Mauhub Hasan al-Banna, Umar Tilmisani).
Berkata Dr. Muhammad al-Ghazali rahimahullah,
“Betul, saya
termasuk orang yang berkepentingan dalam usaha penyatuan antara
mazhab-mazhab Islam. Saya selalu bekerja keras dan terus-menerus di
Kairo. Saya berteman dengan Muhammad Taqy al-Qummy, Muhammad Jawad
Mughniyah, dan ulama-ulama besar Syi’ah yang lain.” (
Mauqif ‘Ulama al-Muslimin hal 21-23).
Bahkan tatkala gembong Syi’ah abad ini Ayatullah al-Khomeini (orang
yang ‘merestui’ pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar (Karena dia
merestui buku
Tuhfah al-’Awaam Maqbul, as-Sayyid Mandzur Husain, yang di dalamnya terdapat doa
shanamai quraisy,
yang dipenuhi dengan cacian dan laknatan kepada ash-Shiddiq dan
al-Faruq)) berhasil melakukan revolusi di Iran, tokoh-tokoh organisasi
pergerakan ini berbondong-bondong mengucapkan selamat dan bahkan
mendukung kepemimpinannya:
Berkata Al Maududi
rahimahullah,
“Sesungguhnya revolusi
al-Khomeini adalah revolusi yang islami, dipelopori oleh jama’ah
islamiyah dan para pemuda yang dididik dalam tarbiyah islamiyah di
kancah pergerakan Islam. Maka seluruh kaum muslimin dan gerakan-gerakan
Islam berkewajiban untuk mendukung revolusi ini dengan dukungan yang
sebesar-besarnya, serta bekerjasama dengan mereka di segala aspek.” (
Asy-Syaqiqani, hal 3. dan
Mauqif Ulama al-Muslimin, hal 48).
Fathi Yakan
rahimahullah berkata,
“Dan di dalam sejarah
Islam baru-baru ini, terdapat bukti atas perkataan yang kami ucapkan.
Bukti itu adalah: percobaan revolusi islami yang ada di Iran; percobaan
yang diperangi oleh setiap kekuatan kafir di muka bumi ini, dan masih
terus diperangi, karena revolusi ini islami dan tidak memihak ke timur
maupun ke barat.” (
Abjadiyat at-Tashawwur al-Haraki Li al-’Amal al-Islami, hal 148).
Bahkan
at-Tandzim ad-Dauly Lijama’ati al-Ikhwan al-Muslimin (Organisasi Internasional Kelompok
Ikhwanul Muslimin) telah menerbitkan memorandum yang berisi,
“Dengan
ini, Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin menyeru setiap
pemimpin organisasi pergerakan Islam di Turki, Pakistan, India,
Indonesia, Afghanistan, Malaysia, Philipina dan organisasi Ikhwanul
Muslimin di negeri-negeri Arab, Eropa dan Amerika untuk mengirim utusan
mereka guna membentuk suatu delegasi yang akan diberangkatkan ke Teheran
dengan menggunakan pesawat khusus. Dengan tujuan untuk menemui al-Imam
Ayatullah al-Khomeini, dalam rangka menekankan dukungan pergerakan Islam
yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin, Hizb as-Salamah Turki, al-Jama’ah
al-Islamiyah di Pakistan, al-Jama’ah al-Islamiyah di India, Jama’ah
Partai Masyumi di Indonesia, Angkatan Belia Islam Malaysia, al-Jama’ah
al-Islamiyah di Philipina. Pertemuan itu merupakan salah satu tanda
kebesaran Islam dan kemampuannya untuk mencairkan perbedaan-perbedaan
ras, kebangsaan dan mazhab…” (Majalah
al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah, edisi 434, 25/2/1979).
Wahai para pembaca yang budiman, apakah perbedaan itu berhasil
dicairkan dengan cara menundukkan setiap perbedaan pendapat di bawah Al
Quran dan As
Sunnah, atau
dengan cara diam dan pura-pura cuek dengan segala macam bentuk
perbedaan, entah itu klaim bahwa Al Quran tidak sempurna, pelaknatan
terhadap Abu Bakar dan Umar, atau tuduhan yang dilontarkan kepada Ummul
Mu’minin Aisyah bahwa dia telah berzina, serta dosa-dosa besar
lainnya???!!
Allahulmusta’an wa ‘alaihit tuklan…
Kedua- Barangkali ada di antara kita -setelah membaca makalah ini-
semangatnya berkobar untuk menasihati orang-orang Syi’ah, entah itu di
Madinah atau di kampungnya. Bisa jadi -dan itu memang sudah terjadi-
tatkala kita ungkapkan fakta-fakta tersebut di atas, mereka akan
menjawab,
“Itu semua tidak ada dalam ajaran Syi’ah!” Kalau itu jawaban mereka apa langkah kita selanjutnya?
Perlu diketahui bersama, bahwa orang Syi’ah mempunyai suatu ‘senjata’ yang bernama
taqiyyah (Silahkan lihat:
Min ‘Aqaid asy-Syi’ah, Abdullah bin Muhammad as-
Salafy, hal: 32-33). Salah seorang ulama kontemporer mereka mendefinisikan taqiyyah dengan perkataannya,
“Taqiyyah
adalah mengucapkan atau berbuat sesuatu yang tidak engkau yakini,
dengan tujuan untuk melindungi diri dan harta dari marabahaya, atau agar
harga dirimu terjaga.” (
Asy-Syi’ah Fi al-Mizan, Muhammad Jawad Mughniyah, hal 48).
Al-Kulaini dalam
Ushul al-Kafi (hal 482-483) menyebutkan, ((Abu Abdilah berkata,
“Wahai
Abu Umar, sesungguhnya 9/10 agama kita terletak di dalam taqiyyah,
barang siapa yang tidak bertaqiyyah maka dia dianggap tidak mempunyai
agama!!”)).
Jadi orang-orang Syi’ah menganggap bahwa
taqiyyah
itu hukumnya wajib. Maka kalau ada di antara mereka yang mengingkari
fakta-fakta ini, ketahuilah bahwa mereka sedang bertaqiyyah alias
berbohong.
Wallahua’lam, semoga bermanfaat! dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan…
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajmain.
Kota Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (Madinah An-Nabawiyah)
Selasa, 20 Muharram 1426 H
Penulis:
Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel
www.muslim.or.id