Halaman

Senin, 21 Mei 2012

Bersihkan Hati Anda Dari Noda Hasad

Bersihkan Hati Anda Dari Noda Hasad


Hampir seluruh manusia pernah terjangkiti Hasad. Ibnu Taimiyyah berkata :

وَالْمَقْصُوْدُ أَنَّ " الْحَسَدَ " مَرَضٌ مِنْ أَمْرَاضِ النَّفْسِ وَهُوَ مَرَضٌ غَالِبٌ فَلاَ يَخْلُصُ مِنْهُ إِلاَّ قَلِيْلٌ مِنَ النَّاسِ وَلِهَذَا يُقَالُ : مَا خَلاَ جَسَدٌ مِنْ حَسَدٍ لَكِنَ اللَّئِيْمَ يُبْدِيْهِ وَالْكَرِيْمَ يُخْفِيْهِ

"Maksudnya yaitu bahwasanya hasad adalah penyakit jiwa, dan ia adalah penyakit yang menguasai, tidak ada yang selamat darinya kecuali hanya segelintir orang. Karenanya dikatakan, "Tidak ada jasad yang selamat dari hasad, akan tetapi orang yang tercela menampakkannya dan orang yang mulia menyembunyikannya" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/125-126)

Kenapa hasad sulit dihindari?, Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata

وَالْحَسَدُ مَرْكُوْزٌ فِي طِبَاعِ الْبَشَرِ وَهُوَ أَنَّ الإِنْسَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَفُوْقَهُ أَحَدٌ مِنْ جِنْسِهِ فِي شَيْءٍ مِنَ الْفَضَائِلِ

"Hasad tertanam di tabi'at manusia, yaitu namanya manusia benci jika ada seorangpun –yang sejenis dengannya (sesama manusia)- yang mengunggulinya dalam suatu keutamaan" (Jaami'ul 'Uluum wa al-Hikam hal 327)

Akan tetapi… lantas apakah kita harus pasrah dan mengikuti penyakit hasad yang merongrong hati kita???



Model-model Manusia Terhadap Hasad

"Manusia bermodel-model dalam menghadapi hasad:

(Pertama) : Diantara mereka ada yang berusaha untuk menghilangkan kenikmatan yang ada pada orang yang dihasadi, dengan berbuat dzolim kepadanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan lalu diantara mereka ada yang berusaha hanya untuk menghilangkan kenikmatan tersebut dari yang dihasadi tanpa harus berpindah kenikmatan tersebut kepadanya Dan inilah yang merupakan bentuk hasad yang paling buruk dan paling keji, dan inilah hasad yang tercela dan terlarang. Ia adalah hasad yang merupakan dosa Iblis, dimana ia telah hasad kepada Adam 'alaihis salaam tatkala ia melihat Adam telah mengungguli para malaikat, yaitu Allah telah menciptakan Adam dengan tanganNya, telah memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya, Allah telah mengajarkannya nama-nama segala sesuatu, serta Allah menempatkan Adam di surga di sisiNya. Maka Iblispun terus senantiasa berusaha untuk mengeluarkan Adam dari surga, hingga akhirnya iapun berhasil mengeluarkan Adam dari surga…

Hasad ini pulalah yang merasuki orang-orang yahudi sebagaimana telah Allah sebutkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an, diantaranya firman Allah

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

"Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran." (QS Al-Baqoroh : 109)

Juga firman Allah :

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا (٥٤)

"Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia [Yaitu: kenabian, Al Quran, dan kemenangan] yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar" (QS An-Nisaa' : 54)" (Dari perkataan Ibnu Rojab dalam Jaami'ul 'Uluum wal Hikam hal 327)

(Kedua) : Diantara mereka ada yang menghendaki kenikmatan yang ada pada saudaranya berpindah kepada dirinya. Misalnya saudaranya tersebut memiliki seorang istri yang cantik lantas ia berangan-angan agar saudaranya menceraikan istrinya tersebut atau agar saudaranya segera meninggal sehingga iapun bisa menikahi sang wanita.

Atau saudaranya memimpin sebuah markaz lantas ia berangan-angan agar saudaranya segera hengkang pergi atau segera meninggal agar ialah yang akan menjadi pemimpin markaz tersebut.

Atau saudaranya seorang dai yang terkenal dan memiliki banyak pengikut, maka iapun berangan-angan agar saudaranya melakukan kesalahan sehingga ditinggalkan oleh para pengikutnya maka para pengikutnya akan berpaling kepadanya.

(Ketiga) : Ia bukan berharap hilangnya kenikmatan yang ada pada saudaranya, akan tetapi ia berbahagia jika saudaranya tetap dalam kondisinya yang buruk, tetap dalam keadaan miskin, atau tetap dalam keadaan bodoh, atau tetap dalam keadaan terjerumus dalam kesalahan atau bid'ah. Karenanya hatinya menjadi teriris-iris jika saudaranya tersebut menjadi kaya, atau menjadi pintar dan alim, atau yang tadinya terjerumus dalam bid'ah kemudian mengenal sunnah.

(Keempat) : Ia tidak berharap hilangnya kenikmatan yang ada pada saudaranya, akan tetapi ia berharap dirinya memperoleh kenikmatan sebagaimana yang dirasakan oleh saudaranya, dan ia berusaha untuk memperolehnya, sehingga kondisinya bisa setingkat/setara dengan saudaranya tersebut. Akan tetapi tatkala cita-citanya tersebut tidak tercapai, kenikmatan tidak bisa ia raih maka iapun terjerumus dalam hasad, iapun ingin kenikmatan pada saudaranya lenyap, sehingga saudaranya tersebut bisa terjatuh dan setara dengan dirinya. (poin kedua hingga keempat silahkan lihat kitab Fiqh Al-Hasad karya Musthofa Al-'Adawi hal 9-10)

(Kelima) : Ia hasad kepada saudaranya, akan tetapi ia tidak berusaha untuk menghilangkan kenikmatan yang ada pada saudaranya, ia tidak menzoliminya baik dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Jika ia berusaha untuk menghilangkan hasad dalam hatinya akan tetapi ia tidak berhasil, bahkan hasad tetap mendominasinya maka orang seperti ini tidak berdosa selama ia tidak merealisasikan penyakit hasadnya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan.

Adapun jika ia sengaja membisikkan hatinya untuk hasad dan mengulang-ngulang bisikan tersebut dalam hatinya, dan ia tenteram dan condong kepada hilangnya kenikmatan dari saudaranya, meskipun ia tidak merealisasikan hasadnya dalam bentuk perkataan maupun perbuatan akan tetapi hanya disimpan dihati, maka orang seperti ini ada khilaf diantara para ulama, apakah ia dihukum atau tidak?, apakah ia berdosa atau tidak?. Masalahnya apa yang ia lakukan dengan membisikan hasad kepada hatinya mirip dengan 'azam/tekad yang dipasang untuk melakukan kemaksiatan meskipun belum melakukan kemaksiatan. Dan sebagian ulama menyatakan bahwa jika niat sudah sampai pada derajat 'azam/tekad maka menimbulkan dosa.  (Lihat Jaami'ul 'Uluum hal 327-328).

Ibnu Taimiyyah berkata, "Barang siapa yang mendapati dalam dirinya rasa hasad kepada orang lain maka hendaknya ia menggunakan ketakwaannya dan kesabarannya untuk membenci hasad yang ada dalam dirinya.

Banyak orang yang memiliki agama (yang kuat) mereka tidak berbuat dzolim kepada orang yang dihasadi, mereka juga tidak menolong orang yang menzolimi orang yang dihasadi. Akan tetapi mereka juga tidak menunaikan kewajiban hak orang yang dihasadi. Bahkan jika ada seseorang yang mencela orang dihasadi tersebut maka mereka tidak setuju dengan pencela tadi namun juga tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dihasadi. Mereka ini berhutang kepadanya karena telah meninggalkan perkara yang diperintahkan untuk menunaikan haknya dan kurang dalam menunaikannya, namun mereka tidak berbuat pelanggaran terhadap haknya.  Maka balasan terhadap mereka adalah hak-hak mereka juga akan terkurang hak-hak mereka, sehingga mereka juga tidak akan disikapi dengan adil dalam beberapa kondisi, serta mereka juga tidak akan ditolong melawan orang yang yang menzolimi mereka sebagaimana mereka tidak menolong orang dihasadi tersebut. Adapun barang siapa yang melanggar/menzolimi orang yang dihasadi baik dengan perkataan maupun perbuatan maka ia akan dihukum" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/125)

(Keenam) : Yaitu seseorang yang tatkala mendapatkan dalam dirinya rasa hasad maka ia berusaha menghilangkannya dengan cara berbuat baik kepada saudaranya yang ia hasadi, ia mendoakannya, ia menyebarkan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaannya, hingga akhirnya ia mengganti hasadnya dengan mencintai saudaranya. Ini termasuk derajat keimanan yang tertinggi. Pelakunya adalah seorang yang imannya sempurna, yang menghendaki bagi saudaranya apa yang ia suka untuk dirinya sendiri. (Lihat Jaami'ul 'Uluum wal Hikam hal 328)

Ibnu Taimiyyah berkata, "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dan bersabar (*sehingga tidak merealisasikan hasadnya), dan tidak termasuk dalam orang-orang yang berbuat dzolim, maka Allah akan memberi manfaat kepadanya dengan ketakwaannya tersebut. Sebagaimana yang dialami oleh Zainab binti Jahsy radhiallahu 'anhaa. Ia adalah istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyaingi Aisyah (di hati Nabi)" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/125, yaitu Zainab selamat tidak ikut-ikutan menuduh Aisyah dalam kasus 'ifk/tuduhan Aisayh berzina. Padahal saudarinya Hamnah binti Jahsy ikut terprovokasi sehingga ikut-ikutan menuduh Aisyah)



Sebab Timbulnya Hasad

Ibnu Taimiyyah berkata :

"Dan hasad diantara para wanita sering terjadi dan mendominasi, terutama diantara para istri-istri pada satu suami. Seorang wanita cemburu karena adanya para istri yang lain yang menyertainya. Demikianlah hasad sering terjadi diantara orang-orang yang berserikat dalam kepemimpinan atau harta jika salah seorang dari mereka mendapatkan bagian dan yang lainnya luput dari bagian tersebut. Demikian juga hasad terjadi diantara orang-orang yang setara karena salah seorang diantara mereka lebih dari pada yang lain. Sebagaimana para saudara nabi Yusuf, demikian juga hasadnya salah seorang anak Adam kepada yang laiinya. Ia hasad kepada saudaranya karena Allah menerima korbannya sementara kurbannya tidak diterima. Ia hasad kepada kelebihan yang Allah berikan berupa keimanan dan ketakwaan –sebagaimana hasadnya yahudi terhadap kaum muslimin- sehingga iapun membunuh saudaranya karena hasad tersebut" (Majmuu' Al-Fatawa 10/125-126)

Karenanya seorang penjual minyak wangi memiliki hasad yang sangat besar kepada penjual minyak wangi yang lain, terlebih lagi jika penjual yang lain tersebut berjualan di areal yang sama. Padahal meskipun di dekat areal tersebut ada show room mobil yang pemiliknya memperoleh keuntungan puluhan juta tiap hari, akan tetapi para penjual minyak wangi tidak hasad kepada sang pemilik show room, karena segmen dan profesi yang berbeda.

Demikian juga dokter hasad kepada dokter yang lain jika ternyata pasien dokter tersebut lebih banyak dari pasiennya.

Tukang becak hasad kepada tukang becak lainnya, dan ia tidak hasad kepada para supir taksi yang mungkin untung mereka berlipat-lipat ganda daripada untuk si tukang becak.

Demikian pula tetangga hasad kepada tetangga yang lain, tatkala melihat isi rumah tetangganya lebih mewah, demikian juga bangunan rumahnya lebih mewah.

Demikian juga penuntut ilmu hasad kepada penuntut ilmu yang lain, jika ternyata niatnya menuntut ilmu tidak ikhlas karena Allah.


Keburukan Hasad

Pertama : Hasad bertentangan dengan nilai dan konsekuensi persaudaraan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَقَاطَعُوا وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

"Janganlah kalian saling hasad, janganlah saling membenci, jangan saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara"
(HR Muslim no 2559)

Padahal diantara kaum mukminin harusnya saling mencintai dan menyayangi. Allah berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka."
(Al-Fath : 29)

Kedua : Hasad merupakan penyakit.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الأُمَمِ قَبْلَكُمْ : الْحَسَدُ وْالْبَغْضَاءُ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ لاَ أَقُوْلُ تَحْلِقُ الشَّعْرَ وَلَكِنْ تَحْلِقُ الدِّيْنَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِمَا يُثْْبِتُ ذَلِكَ لَكُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

"Telah berjalan kepada kalian penyakit umat-umat terdahulu, hasad dan permusuhan. Dan permusuhan adalah membotaki. Aku tidak mengatakan membotaki rambut, akan tetapi membotaki agama. Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah aku kabarkan kepada kalian dengan apa bisa menimbulkan hal tersebut?, tebarkanlah salam diantara kalian"
(HR At-Thirmidzi 2/83 dan Ahmad 1/165,167, dan dihasankan oleh Al-Albani dalama Irwaaul Gholil 3/238)

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:

سَيُصِيْبُ أُمَّتِي دَاءُ الأُمَمِ ، فَقَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا دَاءُ الأُمَمِ ؟ قَالَ : الأَشْرُ، وَالْبَطْرُ والتَّكَاثُرُ وَالتَّنَاجُشُ فِي الدُّنْيَا وَالتَّبَاغُضُ وَالتَّحَاسُدُ حَتَّى يَكُوْنَ الْبَغْيُ

"Umatku akan ditimpa penyakit umat-umat". Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, apakah itu penyakit umat-umat (terdahulu)?". Rasulullah berkata, "Kufur Nikmat, bersikap berlebihan terhadap nikmat Allah (terlalu riang gembira/berfoya-foya), saling berlomba-lomba memperbanyak dunia, saling berbuat najsy, saling memusuhi, dan saling hasad-menghasadi hingga timbulnya sikap melampaui batas (kedzoliman)" (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 680)

Ibnu Taimiyyah berkata, "Rasulullah menamakan hasad sebagai penyakit… maka dikatahui bahwasanya hasad merupakan penyakit. Dalam hadits yang lain (doa Nabi)

أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَهْوَاءِ وَالأَدْوَاءِ

"Aku berlindung kepada Engkau dari akhlak yang munkar, dari hawa nafsu, dan dari penyakit-penyakit" (Majmuu Al-Fataawaa 10/126)

Ketiga : Hasad lebih buruk dari pelit

Ibnu Taimiyyah berkata :

وَالشُّحُّ مَرَضٌ وَالْبُخْلُ مَرَضٌ وَالْحَسَدُ شَرٌّ مِنَ الْبُخْلِ

"Rasa pelit penyakit, kikir merupakan penyakit, dan hasad lebih buruk daripada rasa pelit" (Majmuu Al-Fataawa 10/128)

Hal ini dikarenakan orang yang pelit ia hanya mencegah dirinya dari kenikmatan Allah, atau mencegah orang lain dari kenikmatan yang Allah yang ia miliki. Adapun orang yang hasad ia membenci kenikmatan Allah pada orang lain.

Terkadang seseorang dermawan dengan memberikan pemberian kepada orang lain yang membantunya akan tetapi ia hasad kepada orang-orang lain yang semisalnya. Terkadang seseorang pelit akan tetapi ia tidak hasad kepada orang lain. (lihat Majmuu' Al-Fataawaa 10/29)

Keempat ; Orang yang hasad pada hekekatnya protes dengan keputusan Allah.

Allah yang telah mentaqdirkan si fulan kaya, si fulan cerdas, sifulan cantik, dll.

Allah berfirman :

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (٣٢)

"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (Az-Zukhruf : 32)

وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ (٥٣)

"Dan Demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang Kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepadaNya)?" (QS Al-An'aam : 53)

Lantas orang yang hasad ini protes dari sisi :

-         Tidak setuju dengan pembagian Allah tersebut

-         Tidak setuju kalau si fulan mendapatkan kenikmatan, dan merasa bahwa dialah yang lebih pantas meraih kenikmatan tersebut

Kelima : Orang yang hasad pada hekekatnya telah berbuat baik kepada orang yang ia hasadi. Karena jika ia telah hasad ia biasanya menzolimi orang yang ia hasadi dengan perbuatan maupun dengan perkataan. Baik merendahkan atau menggibahinya. Dengan demikian maka ia telah mentransfer kebaikan-kebaikannya kepada orang yang ia hasadi tersebut pada hari kiamat kelak, pada hari dimana sangat dibutuhkan kebaikan-kebaikan untuk ditimbang oleh Allah

Keenam : Orang yang hasad telah bertasyabbuh dengan iblis dan kaum yahudi. Karena hasad adalah akhlak iblis dan orang-orang yahudi.

Ketujuh : Orang yang hasad pada hakikatnya meminta agar Allah memberinya cobaan yang belum tentu bisa ia pikul. Seseorang miskin yang hasad kepada orang yang kaya hendaknya ia berhusnudzon kepada Allah tatkala ia belum diizinkan Allah untuk menjadi kaya, karena bisa jadi jika ia diberi kekayaan oleh Allah maka ia akan semakin jauh dari Allah dan terjerumus dalam berbagai kemaksiatan, sebagaimana yang banyak dialami oleh orang-orang yang kaya raya. Dan bukankah jika ia kaya, maka akan banyak orang yang hasad kepadanya?, sehingga ia tidak akan aman dari gangguan mereka yang hasad kepadanya??!.

Seorang yang hasad kepada orang yang memiliki ilmu lebih dan dakwahnya lebih diterima, hendaknya ia husnudzon kepada Allah, karena bisa jadi jika Allah memindahkan ilmu orang tersebut kepadanya maka ia tidak mampu memikulnya, bisa jadi iapun menjadi orang yang riya dan angkuh sehingga menjerumuskan ia ke dalam api neraka.

Kedelapan : Hasad adalah penyebab dosa pertama kali di langit dan dibumi. Iblis kafir kepada Allah karena hasad kepada Adam, dan Qobil membunuh Habil pun karena hasad.



Tidak Hasad Sebab Masuk Surga

Membersihkan hati dari segala model hasad merupakan perkara yang sangat berat dan butuh perjuangan yang berkesinambungan.

Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata:

كُنَّا جُلُوسًا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ، تَنْطِفُ لِحْيَتُهُ مِنْ وُضُوئِهِ، قَدْ تَعَلَّقَ نَعْلَيْهِ فِي يَدِهِ الشِّمَالِ، فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ ذَلِكَ، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ مِثْلَ الْمَرَّةِ الْأُولَى . فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الثَّالِثُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَ مَقَالَتِهِ أَيْضًا، فَطَلَعَ ذَلِكَ الرَّجُلُ عَلَى مِثْلِ حَالِهِ الْأُولَى، فَلَمَّا قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقَالَ: إِنِّي لَاحَيْتُ أَبِي فَأَقْسَمْتُ أَنْ لَا أَدْخُلَ عَلَيْهِ ثَلَاثًا، فَإِنْ رَأَيْتَ أَنْ تُؤْوِيَنِي إِلَيْكَ حَتَّى تَمْضِيَ فَعَلْتَ ؟ قَالَ: نَعَمْ

"Kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliaupun berkata : "Akan muncul kepada kalian sekarang seorang penduduk surga". Maka munculah seseorang dari kaum Anshoor, jenggotnya masih basah terkena air wudhu, sambil menggantungkan kedua sendalnya di tangan kirinya. Tatkala keesokan hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang sama, dan munculah orang itu lagi dengan kondisi yang sama seperti kemarin. Tatkala keesokan harinya lagi (hari yang ketiga) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengucapkan perkataan yang sama dan muncul juga orang tersebut dengan kondisi yang sama pula. Tatkala Nabi berdiri (pergi) maka Abdullah bin 'Amr bin Al-'Aash mengikuti orang tersebut lalu berkata kepadanya : "Aku bermasalah dengan ayahku dan aku bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika menurutmu aku boleh menginap di rumahmu hingga berlalu tiga hari?. Maka orang tersebut berkata, "Silahkan".

Anas bin Malik melanjutkan tuturan kisahnya :

وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يُحَدِّثُ أَنَّهُ بَاتَ مَعَهُ تِلْكَ اللَّيَالِي الثَّلَاثَ، فَلَمْ يَرَهُ يَقُومُ مِنَ اللَّيْلِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّهُ إِذَا تَعَارَّ وَتَقَلَّبَ عَلَى فِرَاشِهِ ذَكَرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَكَبَّرَ، حَتَّى يَقُومَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ . قَالَ عَبْدُ اللهِ: غَيْرَ أَنِّي لَمْ أَسْمَعْهُ يَقُولُ إِلَّا خَيْرًا، فَلَمَّا مَضَتِ الثَّلَاثُ لَيَالٍ وَكِدْتُ أَنْ أَحْقِرَ عَمَلَهُ، قُلْتُ: يَا عَبْدَ اللهِ إِنِّي لَمْ يَكُنْ بَيْنِي وَبَيْنَ أَبِي غَضَبٌ وَلَا هَجْرٌ ثَمَّ، وَلَكِنْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَكَ ثَلَاثَ مِرَارٍ: " يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ " فَطَلَعْتَ أَنْتَ الثَّلَاثَ مِرَارٍ، فَأَرَدْتُ أَنْ آوِيَ إِلَيْكَ لِأَنْظُرَ مَا عَمَلُكَ، فَأَقْتَدِيَ بِهِ، فَلَمْ أَرَكَ تَعْمَلُ كَثِيرَ عَمَلٍ، فَمَا الَّذِي بَلَغَ بِكَ مَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ . قَالَ: فَلَمَّا وَلَّيْتُ دَعَانِي، فَقَالَ: مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ . فَقَالَ عَبْدُ اللهِ هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ

"Abdullah bin 'Amr bin al-'Aaash bercerita bahwasanya iapun menginap bersama orang tersebut selama tiga malam. Namun ia sama sekali tidak melihat orang tersebut mengerjakan sholat malam, hanya saja jika ia terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat tidur maka iapun berdzikir kepada Allah dan bertakbir, hingga akhirnya ia bangun untuk sholat subuh. Abdullah bertutur : "Hanya saja aku tidak pernah mendengarnya berucap kecuali kebaikan. Dan tatkala berlalu tiga hari –dan hampir saja aku meremehkan amalannya- maka akupun berkata kepadanya : Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya tidak ada permasalahan antara aku dan ayahku, apalagi boikot. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata sebanyak tiga kali  : Akan muncul sekarang kepada kalian seorang penduduk surga", lantas engkaulah yang muncul, maka akupun ingin menginap bersamamu untuk melihat apa sih amalanmu untuk aku contohi, namun aku tidak melihatmu banyak beramal. Maka apakah yang telah menyampaikan engkau sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?". Orang itu berkata : "Tidak ada kecuali amalanku yang kau lihat". Abdullah bertutur : "Tatkala aku berpaling pergi maka iapun memanggilku dan berkata : Amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun dan aku tidak pernah hasad  kepada seorangpun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya". Abdullah berkata, "Inilah amalan yang mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga-pen), dan inilah yang tidak kami mampui" (HR Ahmad 20/124 no 12697, dengan sanad yang shahih)

Perhatikanlah hadits yang sangat agung ini, betapa tinggi nilai amalan hati di sisi Allah. Sahabat tersebut sampai dinyatakan sebagai penduduk surga oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sebanyak tiga kali selama tiga hari berturut-turut, sebabnya… karena ia tidak telah membersihkan hatinya dari segala noda hasad !!!. Padahal amalan dzohirnya sedikit, sahabat ini tidak rajin berpuasa sunnah dan tidak rajin sholat malam, akan tetapi yang menjadikannya mulia… adalah amalan hatinya. (silahkan baca kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/aqidah/106-pentingnya-amalan-hati)

Ibnu Taimiyyah berkata, "Perkataan Abdullah bin 'Amr kepadanya, "Inilah yang telah engkau capai yang kami tidak mampui" memberi isyarat akan bersih dan selamat hatinya dari segala bentuk dan model hasad" (Majmuu' Al-Fataawaa 10/119)

Para sahabat kaum Anshoor telah membersihkan hati mereka dari rasa hasad terhadap saudara-saudara mereka kaum muhajirin. Allah berfirman

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (٩)

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung" (Al-Hasyr : 9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Firman Allah "Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka (hasad) terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin)" yaitu:

وَلاَ يَجِدُوْنَ فِي أَنْفُسِهِمْ حَسَدًا لِلْمُهَاجِرِيْنَ فِيْمَا فَضَّلَهُمُ اللهُ بِهِ مِنَ الْمَنْزِلَةِ وَالشَّرَفِ، وَالتَّقْدِيْمِ فِي الذِّكْرِ وَالرُّتْبَةِ

"Mereka tidak mendapatkan dalam diri mereka rasa hasad kepada kaum muhajirin atas keutamaan yang Allah berikan kepada mereka, berupa kedudukan dan kemuliaan, serta penyebutan dan kedudukan"

Ibnu Taimiyyah berkata, "Antara kaum Al-Aus dan Al-Khozroj terjadi persaingan dalam agama. Maka jika sebagian mereka melakukan apa yang menjadikan mereka mulia di sisi Allah dan RasulNya maka yang lainnya juga senang untuk melakukan yang semisalnya, dan ini merupakan persaingan yang mendekatkan mereka kepada Allah sebagaimana firman Allah

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ (٢٦)

"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba" (Al-Muthoffiifin : 26) (Majumuu' Al-Fataawaa 10/20)



Yang Bukan Termasuk Hasad

Pertama : Al-Ghibtoh

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً فَسَلَّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

"Tidak ada hasad kecuali pada dua orang, seseorang yang Allah anugrahkan harta lantas ia menghabiskan hartanya untuk kebenaran, dan seseorang yang dianugerahkan Allah al-hikmah maka ia pun memutuskan perkara dengan hikmah tersebut dan mengajarkannya" (HR Al-Bukhari no 73 dan Muslim no 816) 

Kedua : Ar-Roozi berkata, "Seluruh bentuk hasad haram hukumnya, kecuali hasad kepada kenikmatan yang ada pada seorang kafir atau seorang fajir yang menggunakan kenikmatan tersebut untuk keburukan dan kerusakan. Maka tidak memberikan mudhorot bagimu (tidak mengapa) jika engkau menyukai hilangnya kenikmatan tersebut. Karena tidaklah engkau menghendaki hilangnya kenikmatan karena  dzat kenikmatan tersebut, akan tetapi karena digunakannya kenikmatan tersebut untuk kerusakan, keburukan, dan mengganggu orang lain" (At-Tafsiir Al-Kabiir 3/238)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 29-05-1433 H / 21 April 2012 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Senin, 07 Mei 2012

Kiat Agar Telindung dari Sihir


Sihir adalah sebuah kata yang kerap akrab di telinga kita. Siapa yang tidak tahu tentang sihir, bahkan sekarang sihir telah menjadi suatu hiburan, wallahul musta’an. Padahal jika kita mau menela’ah lebih dalam apa itu sihir, pasti akan kita dapati bahaya yang sangat besar, terutama bahaya terhadap aqidah seorang muslim.
Apa Itu Sihir?
Sihir secara bahasa digunakan untuk segala sesuatu hal yang sebabnya samar, lembut dan tidak jelas. Adapun secara istilah, dikarenakan sihir memiliki berbagai macam bentuk dan caranya berbeda-beda, maka tidak ada definisi yang lengkap mencakup makna sihir. Di dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4: 444) dijelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya sihir itu secara istilah tidak mungkin di definisikan dengan satu definisi yang lengkap mencakup semua jenis sihir dan mencegah yang bukan termasuk bagian sihir untuk masuk ke dalam bagian dari definisi tersebut, dikarenakan jenisnya yang banyak dan berbeda-beda yang masuk ke dalam istilah sihir. Tidak akan terwujud titik kesamaan di antara jenis sihir yang bisa mencakup semua macam jenis dan mencegah hal-hal yang termasuk sihir untuk masuk ke dalam definisi sihir. Dan ‘ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan istilah tersebut, dengan perbedaan yang sangat mencolok.”
Bahaya Sihir
Sesuatu yang dimiliki oleh setiap muslim di dunia ini lebih mahal dibanding apa pun adalah agamanya. Orang yang berakal pasti menjaga agamanya dan tidak akan pernah ridha dengan perbuatan yang dapat merusak atau melemahkan atau mengotori aqidahnya. Melakukan sihir dan pergi untuk meminta tukang sihir untuk melakukan sihir dapat membahayakan aqidah, bahkan meminta tukang sihir untuk melakukan sihir menjadi salah satu penyebab batalnya Islam seseorang.
Maka tukang sihir dan orang yang pergi ke tukang sihir untuk minta disihirkan, keduanya dihukumi sama. Dan sihir merupakan suatu keharaman dalam semua ajaran Rasul. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Thaha: 69) Barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka ia telah terjerumus dalam kesyirikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka ia telah Syirik.” (Diriwatkan An-Nasa-i). Disebutkan dalam Fathul Majid (231), “Ini adalah dalil tegas bahwa tukang sihir adalah Musyrik.”
Kiat Agar Terlindung dari Sihir
Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat melindungi dan menjaga kita dari pengaruh sihir
1.      Menjaga Shalat Shubuh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mendirikan shalat shubuh, maka ia berada di dalam jaminan perlindungan Allah” (HR. Muslim). Barangsiapa yang menjaga shalat shubuhnya, maka ia akan mendapat perlindungan dari Allah atas gangguan setan-setan yang ingin melakukan sihir
2.      Membaca Surah Al-Baqarah di Dalam Rumah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bacalah Surah Al-Baqarah! Karena sesungguhnya mengambilnya (membacanya) adalah barakah dan meninggalkannya adalah penyesalan (kerugian), dan sihir tidak akan mampu menghadapinya” (HR. Muslim)
3.      Menjaga Bacaan Mu’awwidzatain (Surah Al-Falaq dan An-Nas) pada Waktu Shubuh dan Petang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membacanya tiga kali pada waktu shubuh dan pada waktu petang, maka tidak ada yang bisa membahayakannya sesuatu apa pun.” (HR. Abu Dawud)
4.      Membaca Ayat Kursi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari)
5.      Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah di malam hari, maka keduanya telah mencukupinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
6.      Memakan Tujuh Buah Kurma ‘Ajwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang memakan tujuh buah kurma ‘Ajwah di pagi hari, maka tidak ada yang bisa membahayakannya pada hari itu, baik racun dan sihir.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sungguh begitu besar bahaya sihir bagi seorang muslim. Sihir tidak hanya membahayakan jiwa seseorang, namun dapat merusak aqidah seseorang. Sehingga bisa menjadi salah satu sebab batalnya keislaman seorang muslim. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari pengaruh buruk sihir dan para tukang sihir

Rujukan: Banyak mengambil faedah dari kitab Ba’i-u Diinihi karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasam

Penulis: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 03 Mei 2012

Inilah Wahabi Sesungguhnya…

Wajib diketahui oleh setiap kaum Musimin dimanapun mereka berada bahwasanya firqoh Wahabi adalah Firqoh yang sesat, yang ajarannya sangat berbahaya bahkan wajib untuk dihancurkan.Tentu hal ini membuat kita bertanya-tanya,mungkin bagi mereka yang PRO akan merasa marah dan sangat tidak setuju, dan yang KONTRA mungkin akan tertawa sepuas-puasnya.. Maka siapakah sebenarnya Wahabi ini??
Bagaimanakah sejarah penamaan mereka??
Marilah kita simak dialog Ilmiah yang sangat menarik antara Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas Islam di Maroko.
Salah seorang Dosen itu berkata: ”Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin sangat condong kepadanya,dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Madzhab Wahabi.”
Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: ”Sungguh banyak pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.
Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya .Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”
Dosen itu berkata : ”saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.
Asy Syaikh berkata : ”saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini.”
Dosen itu pun berkata :
”baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi ’yar yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahabiyyun membangun sebuah masjid,”Bolehkan kita Sholat di Masiid yang dibangun olehorang-orang wahabi itu ??”maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:”Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu ’minin, dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin ”.
(wajib kita ketahui bahwa Imam Al-Wansyarisi dan Imam Al-Lakhmi adalah ulama ahlusunnah)
Dosen itu berkata lagi :”Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,”
Kemudian Asy Syaikh menjawab : ”Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu !”
Dosen itu berkata: ”anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya ??”
Asy Syaikh menjawab:”dari sampul luarnya saja.”
Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: ”Namanya adalah Kitab Al-Mi’yar,yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H di kota Fas, di Maroko.”
Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya:”wahai syaikh, tolong catat baik- baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al- Lakhmi??”
Dosen itu berkata:
”Ya,”kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.
Kemudian Asy Syaikh berkata : ”Kapan beliau wafat?”
Yang membaca kitab menjawab: ”beliau wafat pada tahun 478 H”
Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: ”wahai syaikh tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi ” kemudian ditulis.
Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata : ”Wahai para masyaikh….!!! Saya ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir) ???? kecuali kalau dapat wahyu????”
Mereka semua menjawab :”Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda !”
Asy syaikh berkata lagi : ”bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab????
Mereka berkata : ”Siapa lagi???”
Asy Syaikh berkata:”Coba tolong perhatikan..!!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, …
Nah,ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belum lahir..bahkan sampai 22 generasi keatas dari beliau sama belum yang lahir..apalagi berdakwah..
KAIF ??? GIMANA INI???
(Merekapun terdiam beberapa saat..)
Kemudian mereka berkata:”Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut ??” mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan, kami ingin mengetahui yang sebenarnya !”
Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang : ”Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis ?”
Dosen itu berkata:”Ya ini ada,”
Asy Syaikh pun berkata :”Coba tolong buka di huruf “ wau” ..maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “ Wahabiyyah”
Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang biografi firqoh wahabiyyah itu.
Dosen itu pun membacakannya: ”Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al- Abadhi, Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H di kota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlussunnah.
Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata : ”Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki. Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-, maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul.
Syubhat yang tersebar dinegeri-negeri Islam ini dipropagandakan oleh musuh- musuh islam dan kaum muslimin dari kalangan penjajah dan selain mereka agar terjadi perpecahan dalam barisan kaum muslimin.
Sesungguhnya telah diketahui bahwa dulu para penjajah menguasai kebanyakan negeri-negeri islam pada waktu itu,dan saat itu adalah puncak dari kekuatan mereka. Dan mereka tahu betul kenyataan pada perang salib bahwa musuh utama mereka adalah kaum muslimin yang bebas dari noda yang pada waktu itu menamakan dirinya dengan Salafiyyah. Belakangan mereka mendapatkan sebuah pakaian siap pakai, maka mereka langsung menggunakan pakaian dakwah ini untuk membuat manusia lari darinya dan memecah belah diantara kaum muslimin, karena yang menjadi moto mereka adalah “PECAH BELAHLAH MEREKA, NISCAYA KAMU AKAN MEMIMPIN MEREKA ”

Benarkah Sholahuddin Al-Ayyubi Pencetus Perayaan Maulid Nabi?

Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali dimuka bumi.
Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi. Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?

Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.
Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan) Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah Fathimiyyah.
Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al ‘Ibda’ hal.126.
Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah Irbil?
Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal Hawadits hal.130 menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula ini adalah salah seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.
Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil, maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda.
Yaqut al Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid Fi ‘Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]
Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir. Dan mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad ketujuh dengan penuh kemewahan.
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu, diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara Ubaidiyyah. [1]
Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini. Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin, sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia. Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah, tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis. Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di daerah Hithin.
Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya, dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”
Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.
Oleh : Al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 09 Thn.XIII, Robi’uts Tsani 1430/April 2009, Hal.57-58 [di salin dari: http://alqiyamah.wordpress.com/]

Bid’ah Menurut Imam Syafi’i

Pada bahasan pembagian bid’ah, beberapa ulama membagi bid’ah menjadi dua yaitu: bid’ah yang baik (bid’ah hasanah) dan bid’ah yang tercela (bid’ah madzmumah). Mereka menyandarkan pembagian tersebut kepada al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah, yang kemudian dengan semangat pembagian ini diikuti secara ghuluw oleh para pengikut hawa nafsu. Melalui dasar pembagian bid’ah ini, maka hampir dikata tidak ada istilah bid’ah (dhalalah) dalam terminologi syari’at menurut mereka, karena setiap orang berhak untuk menentukan kadar baik dalam bid’ah yang mereka lakukan.

Oleh karena itu, pada artikel kali ini saya mencoba menuliskan secara singkat tentang bid’ah hasanah menurut sisi pandang al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah. Namun sebelumnya, perlu kiranya saya tuliskan sedikit dalil dan riwayat atau atsar yang menyinggung tentang tercelanya bid’ah dan bahayanya.
Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada suatu umat sebelumku melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut (hawariyyun) dan shahabatnya yang mereka mengambil sunnahnya dan mentaati perintahnya. Kemudian setelah itu terjadi kebusukan/perselisihan dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan tangannya, maka ia seorang mukmin. Barangsiapa yang memerangi mereka dengan lisannya maka ia seorang mukmin. Dan barangsiapa yang memerangi mereka dengan hatinya, ia juga seorang mukmin. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawipun” [HR. Muslim no. 50 dan Ahmad 1/458 no. 4379, 1/461 no. 4402].
Berkata Bakr bin Al-’Alaa’ :
فَقَالَ مُعَاذُ بْنِ جَبَلٍِ يَوْمًَا : إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا، يَكْثُرُ فِيْهَا الْمَالُ، وَيُفْتَحُ فِيْهَا الْقُرْانُ، حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ، وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ، وَالصَّغِيْرُ وَالْكَبِيْرُ، وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوْشِكُ قَائِلٌُ أَنْ يَقُوْلَ : مَا لِلنَّاسِ لاَ يَتَّبِعُوْنِي، وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْانَ ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدَعَ لَهُمْ غَيْرَهُ ! فَإِيَّكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلاَلَةٌُ، وَأُحَذُِّرُكُمْ زَيْغَةَ الْحَكِيْمِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُوْلُ كَلِمَةَ الضَّلاَلَةِ عَلَى لِسَانِ الْحَكِيْمِ، وَقَدْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ.
Mu’adz bin Jabal berkata pada suatu hari : ”Sesungguhnya di belakang kalian nanti akan terdapat fitnah, dimana pada waktu itu harta berlimpah ruah dan Al-Qur’an dalam keadaan terbuka hingga semua orang baik mukmin, munafiq, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, hamba sahaya, atau orang merdeka pun membacanya. Pada saat itu akan ada seseorang yang berkata: ’Mengapa orang-orang itu tidak mengikutiku padahal aku telah membaca Al-Qur’an? Mereka itu tidak akan mengikutiku hingga aku membuat-buat sesuatu bagi mereka dari selain Al-Qur’an!’. Maka hendaklah kamu hati-hati/waspada dari apa-apa yang dibuat-buat (oleh manusia), karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan. Dan aku peringatkan kalian akan penyimpangan yang dilakukan oleh seorang hakim ! Karena seringkali syaithan itu mengatakan kalimat kesesatan melalui lisan seorang hakim, dan seringkali seorang munafiq itu berkata tentang kebenaran” [HR. Abu Dawud no. 4611; shahih – Shahih Sunan Abi Dawud 3/120].
عَنْ عَبْدِ اللهِ (بْنِ مَسْعُوْد) قَالَ : الْقَصْدُ فِي السُّنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الاجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Dari ’Abdullah (bin Mas’ud) radliyallaahu ’anhu ia berkata : “Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 223, Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqad no. 14, 114, Al-Haakim 1/103, dan yang lainnya; sanad riwayat ini jayyid].
عَن المبَارَك عَن الحَسَن قَالَ سننكم والله الذي لا إله إلا هو بينهما بين الغالي والجافي فاصبروا عليها رحمكم الله فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقي الذين لم يذهبوا مع أهل الأتراف في أترافهم ولا مع أهل البدع في بدعهم وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم فكذلك إن شاء الله فكونوا
Dari ’Abdillah bin Al-Mubarak dari Al-Hasan ia berkata : ”Perbedaan antara perilaku/perikehidupan kalian dengan sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah yang tiada tuhan yang patut disembah dengan benar melainkan Dia, seperti perbedaan antara sesuatu yang sangat berharga (mahal) dengan sesuatu yang busuk (murah). Maka bersabarlah kalian dalam memegang syari’at Allah, niscaya Allah akan mengasihi kalian. Sesunggunya Ahlus-Sunnah itu merupakan kelompok yang sangat sedikit dan kecil, baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Mereka itu adalah orang yang tidak senang bercampur dengan ahli maksiat pada kemaksiatan mereka, dan tidak mau bekerjasama dengan para ahli bid’ah dalam mengerjakan kebid’ahan mereka. Bersabarlah kalian dalam memegang apa yang diwariskan oleh Ahlus-Sunnah hingga kalian menghadap Tuhannya (Allah). Seandainya kalian melakukannya, maka insyaAllah keberadaan kalian seperti mereka” [Diriwayatkan oleh Ad-Darimi no. 222; dla’if].
عَنِ ابْنِ الْعَبَاس – رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا – أَنَهُ قَالَ : مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ ، إِلّا أَحْدَثُوْا فِيْهِ بِدْعَةً ، وَأَمَاتُوْا فِيْهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَا الْبِدَعِ وَتَمُوْتُ السُّنَنُ.
Dari Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma bahwasannya ia berkata : Tidaklah datang kepada manusia satu tahun kecuali mereka membuat-buat bid’ah dan mematikan sunnah di dalamnya. Hingga hiduplah bid’ah dan matilah sunnah” [Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz-Zawaaid, 1/188, Bab Fil-Bida’i wal-Ahwaa’ : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir, dan rijalnya adalah terpercaya”. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Wadldlaah dalam Kitaabul-Bida’ hal. 39].
Itulah sedikit di antara nash dan atsar dari para pendahulu kita yang shalih (as-salafush-shalih) tentang tercelanya bid’ah. Mereka memutlakkan apa-apa yang baru dalam syari’at yang tidak ada dalilnya dan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabatnya sebagai bid’ah. Mereka tidak pernah mengecualikan bid’ah dengan kata hasanah (baik), karena seluruh bid’ah menurut mereka adalah dlalalah (sesat). Barangsiapa yang mengklaim ada bid’ah yang tergolong hasanah, maka pada hakekatnya ia telah menuduh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan semua risalah. Baik baginya untuk memperhatikanlah perkataan Ummul-Mukminin ’Aisyah radliyallaahu ’anha:
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Juga hendaknya ia memperhatikan perkataan ’Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma:
كُلُّ بِدْعَةٍِ ضَلاَلَةٌُ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةًَ
”Setiap bid’ah itu adalah sesat walaupun manusia memandangnya sebagai satu kebaikan” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikai dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 205 dan Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 205 dengan sanad shahih].
Jika kita kaitkan dengan perbuatan salafunash-shaalih di bawah, maka perkataan di atas akan lebih jelas maksudnya.
عن نافع أن رجلا عطس إلى جنب بن عمر فقال الحمد لله والسلام على رسول الله قال بن عمر وأنا أقول الحمد لله والسلام على رسول الله وليس هكذا علمنا رسول الله صلى الله عليه وسلم علمنا أن نقول الحمد لله على كل حال
Dari Nafi’: Bahwasannya ada seseorang bersin di samping Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, lalu dia berkata : “Alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasulihi (segala puji bagi Allah dan kesejahteraan bagi Rasul-Nya)”. Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Dan saya mengatakan, alhamdulillah was-salaamu ‘alaa Rasuulillah. Akan tetapi tidak demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami. Akan tetapi beliau mengajarikami untuk mengatakan: “Alhamdulillah ‘alaa kulli haal” (Alhamdulillah dalam segala kondisi) [HR. At-Tirmidzi no. 2738, Hakim 4/265-266, dan yang lainnya dengan sanad hasan].
Membaca shalawat kepada Nabi di waktu yang tidak dicontohkan (yaitu sewaktu bersin) ternyata diingkari oleh Ibnu ‘Umar dengan alasan bahwa hal itu tidak dicontohkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Itulah bid’ah. Tidak ada pemahaman di dalamnya adanya bid’ah hasanah (walau dengan alasan membaca shalat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Oleh karena itu, Al-Imam Malik rahimahullah – pemimpin ulama Madinah di jamannya – sangat mengingkari bid’ah hasanah. Ibnul-Majisyun mengatakan:
سمعت مالكا يقول : “من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا يكون اليوم دينا”
“Aku mendengar Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu hari dimana Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam beserta para shahabatnya masih hidup) bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama” [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49].
Kembali pada pembahasan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah. Kita tidak pernah berpandangan bahwa beliau menyelisihi pendahulunya dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in. Tidak pula ia menyelisihi gurunya, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagaimana di atas. Beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pernah berkata :
مَن اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu (menurut pendapatnya), sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
Asy-Syaukani menukil perkataan Ar-Ruyani ketika menjelaskan perkataan Asy-Syafi’iy di atas:
معناه أنه ينصب من جهة نفسه شرعًا غير الشرع
“Maknanya adalah orang yang menetapkan hukum syar’iy atas dirinya dan tidak berdasarkan dalil-dalil syar’iy” [Irsyaadul-Fuhuul, hal. 240].
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan:
إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan juga dalam kitab Al-Umm (7/293-304) terdapat pasal yang indah berjudul : Pembatal Istihsaan/Menganggap Baik Menurut Akal (Ibthaalul-Istihsaan).
Perkataan-perkataan di atas tidak mungkin kita pahami bahwa Al-Imam Asy-Syafi’iy menetapkan bid’ah hasanah – satu klasifikasi yang tidak pernah disebut oleh para pendahulu beliau. Bid’ah hasanah pada hakekatnya kembalinya pada sikap istihsan (menganggap baik sesuatu) tanpa dilandasi dalil, dan ini ditentang oleh beliau rahimahullah. Apabila kita tanya kepada mereka yang berkeyakinan adanya bid’ah hasanah : “Apa standar Anda dalam menentukan baiknya satu bid’ah ?”. Niscaya kita akan mendapatkan jawaban yang beragam, karena memang tidak ada standarnya. Akhirnya, jika kita rangkum keseluruhan pendapat mereka beserta contoh-contohnya, tidaklah tersisa bid’ah bagi mereka kecuali ia adalah hasanah. Al-‘Allamah Abu Syammah Al-Maqdisi Asy-Syafi’iy (seorang pembesar ulama Syafi’iyyah) berkata :
فالواجب على العالم فيما يَرِدُ عليه من الوقائع وما يُسألُ عنهُ من الشرائعِ : الرجوعُ إلى ما دلَّ عليهِ كتابُ اللهِ المنزَّلُ، وما صحَّ عن نبيّه الصادق المُرْسَل، وما كان عليه أصحابهُ ومَن بعدَهم مِن الصدر الأول، فما وافق ذلك؛ أذِنَ فيه وأَمَرَ، وما خالفه؛ نهى عنه وزَجَرَ، فيكون بذلك قد آمَنَ واتَّبَعَ، ولا يستَحْسِنُ؛ فإنَّ (مَن استحسن فقد شَرَعَ).
“Maka wajib atas seorang ulama terhadap peristiwa yang terjadi dan pertanyaan yang disampaikan kepadanya tentang syari’at adalah kembali kepada Al-Qur’an, riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan atsar para shahabat serta orang-orang setelah mereka dalam abad pertama. Apa yang sesuai dengan rujukan-rujukan tersebut dia mengijinkan dan memerintahkan, dan apa yang tidak sesuai dengannya dia mencegah dan melarangnya. Maka dengan itu dia beriman dan mengikuti. Dan janganlah dia menyatakan baik menurut pendapatnya. Sebab : ‘Barangsiapa yang menganggap baik menurut pendapatnya (istihsan), maka sesungguhnya dia telah membuat syari’at” [Al-Ba’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawadits oleh Abu Syaammah, hal. 50].
Lantas bagaimana riwayat yang dibawakan oleh Abu Nu’aim tentang perkataan Asy-Syafi’iy tentang pembagian bid’ah terpuji dan tercela ?
Harmalah bin Yahya meriwayatkan :
سمعت الإمام الشافعي – رحمه الله – يقول : ( البدعة بدعتان : بدعة محمود وبدعة مذمومة ، فما وافق السنة فهو محمود ، وما خالف السنة فهو مذموم )
”Aku mendengar Imam Asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata : ’Bid’ah itu ada dua macam : (1) Bid’ah yang terpuji, dan (2) Bid’ah yang tercela. Apa-apa yang sesuai dengan Sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) terpuji. Sedangkan yang menyelisihi sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang) tercela” [Hilyatul-Auliyaa’ oleh Abu Nu’aim 9/113, Daarul-Kutub Al-’Ilmiyyah, Cet. 1/1409 H].
Asy-Syaikh ‘Ali Al-Halabiy hafidhahullah telah menjelaskan bahwa selain riwayat ini bertentangan dengan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah yang telah dinukil sebelumnya, juga sanadnya lemah, karena dalam sanadnya terdapat perawi yang majhul [lihat ‘Ilmu Ushuulil-Bida’, hal. 121; Daarur-Raayah, Cet. 2/1417]

Biarkan Syi’ah Bercerita Tentang Kesesatan Agamanya



Kategori: Manhaj

 30 Oktober 2008

Prolog
Segala puji bagi Allah Robb semesta alam, sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, istri-istrinya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti jalannya hingga hari akhir nanti.
Enam tahun yang silam di salah satu pesantren terbesar di Indonesia, penulis menjadi salah satu peserta dauroh yang diadakan oleh Jami’ah Islamiyah Madinah. Kebetulan ada suatu kisah yang tidak terlupakan hingga detik ini. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, para dosen (baca: masyayikh) mengabsen peserta dauroh satu persatu. Hingga sampai ke suatu nama, dosen tersebut mengernyitkan dahinya dan terheran-heran, nama itu adalah Ayatullah Khomeini, (kebetulan dia salah seorang teman akrab penulis di pesantren). Dosen itu bertanya, “Kamu sunni (termasuk golongan ahlus sunnah)?”, dengan tenangnya peserta itu menjawab, “Iya”, “Mengapa kamu pakai nama dedengkot Syiah?”, “Karena bapak ana ngasih nama seperti itu”, sahutnya. Setelah dialog singkat itu sang dosen minta agar teman kami tersebut mengganti namanya.

Penulis -dengan lugunya- berkata dalam hati, “Memangnya kenapa sich nggak boleh pakai nama tokoh Syi’ah tersebut? Masa gitu saja dipermasalahkan! Toh dia juga salah satu pejuang besar dunia?!”
Hari berganti hari, bulan berganti bulan; setahun kemudian penulis diberi kesempatan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk menuntut ilmu di kota Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tepatnya di Jami’ah Islamiyah. Di situlah wawasannya mulai terbuka sedikit demi sedikit, pengetahuannya tentang kelompok-kelompok yang menisbatkan diri mereka kepada agama Islam sedikit demi sedikit mulai bertambah. Hingga terbelalaklah matanya tatkala mengetahui hakikat kelompok Syi’ah. Dan hilanglah sudah keheran-heranan dia enam tahun yang silam, mengapa sang dosen pengajar dauroh itu begitu ‘ngotot’-nya minta agar peserta Ayatullah Khomeini mengganti namanya.
Maka, dalam rangka menyampaikan ilmu walaupun hanya sedikit, juga berhubung semakin menjamur dan larisnya ajaran itu di tanah air kita, penulis merasa berkewajiban untuk menyampaikan sedikit dari apa yang diketahuinya tentang agama yang satu ini. Tulisan ini ditranskrip, diterjemahkan dan diringkas dari sebuah ceramah ilmiah dalam suatu kaset yang berjudul “Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib” (Beberapa renungan beserta para da’i penyeru persatuan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah) yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah as-Salafy. Kaset ini bukan hanya membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama klasik Syi’ah saja, tapi juga membawakan fakta dari perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka yang suaranya sempat terekam dalam kaset, dan jatuh ke tangan Ahlusunnah(*). Kami ucapkan kepada para pembaca yang budiman, Selamat menikmati!
(*) Perkataan-perkataan ulama klasik mereka kami sebutkan dengan referensinya beserta nomor jilid dan halamannya. Bagi yang menginginkan bukti otentik fakta-fakta tersebut bisa merujuk ke kitab Ulama asy-Syi’ah Yaqulun, Watsaiq Mushawwarah Min Kutub asy-Syi’ah, yang diterbitkan oleh Markaz Ihya Turots Alul Bait. Adapun perkataan-perkataan ulama kontemporer mereka jika terdapat dalam suatu kaset, maka kami sebutkan dengan kata-kata, “Dengarlah perkataan fulan…” Suara asli mereka bisa didengarkan dalam kaset Waqafat Ma’a Du’at at-Taqrib.
FAKTA PERTAMA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlul Bait (keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Ahlul bait adalah: keluarga Ali, ‘Aqil, Ja’far dan Abbas. Tidak diragukan lagi (menurut Ahlus Sunnah) bahwa istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً. وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik, dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ahlul bait (keluarga) nya.
Ahlusunnah mencintai dan mengasihi ahlul bait, mencintai dan mengasihi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi mereka (Ahlusunnah) juga meyakini bahwa tidak ada yang ma’shum melainkan hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara keyakinan mereka juga: wahyu telah terputus dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dan tidak seorang pun dari para manusia yang telah mati bangkit kembali sebelum hari kiamat. Jadi, kita Ahlusunnah menjunjung tinggi keutamaan ahlul bait dan selalu mendoakan mereka agar senantiasa mendapatkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, tidak lupa kita juga berlepas diri dari musuh-musuh mereka.
Di pihak lain, orang-orang Rafidhah (Rafidhah adalah salah satu julukan kelompok Syi’ah. Julukan ini disebutkan oleh ulama kontemporer mereka Al Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar hal 68, 96 dan 97. Kata-kata Rafidhah berasal dari fi’il rafadha yang berarti menolak. Adapun asal muasal mengapa mereka digelari Rafidhah, ada berbagai versi. Antara lain:
  1. Karena mereka menolak kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.
  2. Versi lain mengatakan karena mereka menolak agama Islam. (lihat Maqalat al-Islamiyin, karya Abu al-Hasan al-Asy’ary jilid I, hal 89).
Selain berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan imam-imam mereka dengan mengatakan bahwasanya mereka itu ma’shum dan lebih utama dari para nabi dan para rasul, mereka juga melekatkan sifat-sifat tuhan di dalam diri para imam, hingga mengeluarkan mereka dari batas-batas kemakhlukan! Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang paling besar, paling jelek, paling rusak dan paling kufur.
Di antara sikap ekstrem mereka, klaim mereka bahwa para imam mengetahui hal-hal yang gaib, dan mereka mengetahui segala yang ada di langit dan di bumi, tidak terkecuali. Mereka mengetahui apa-apa yang ada dalam hati, apa-apa yang ada dalam tulang belakang kaum pria dan apa-apa yang ada dalam rahim kaum wanita. Mereka juga mengetahui apa yang telah lalu dan yang akan datang hingga hari kiamat.
Al Kulainy dalam kitabnya al-Kaafi -yang mana ini merupakan kitab yang paling shahih menurut Rafidhah-, dia telah mengkhususkan di dalamnya bab-bab yang menguatkan sikap ekstrem tersebut. Contohnya: di jilid I, hal 261, dia berkata, “Bab bahwasanya para imam mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang, serta bahwasanya tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari pengetahuan mereka.” Dia juga telah meriwayatkan dalam halaman yang sama dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa mereka mendengar Abu Abdillah ‘alaihis salam (yang dia maksud adalah Ja’far ash-Shadiq) berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui apa-apa yang ada di langit dan di bumi, aku mengetahui apa-apa yang ada di dalam surya dan aku mengetahui apa yang telah lalu serta yang akan datang.”
Dia juga berkata dalam jilid I, hal 258, “Bab bahwasanya para imam mengetahui kapan mereka akan mati dan mereka tidak akan mati kecuali dengan kemauan mereka sendiri.”
Di antara bukti-bukti sikap ekstrem orang-orang Syi’ah, klaim mereka para imam memiliki kekuasaan untuk mengatur alam semesta ini semau mereka; mereka bisa menghidupkan orang yang telah mati, juga menyembuhkan orang yang buta, orang yang terkena kusta, kemudian dunia akhirat milik para imam, mereka berikan kepada siapa saja sesuai dengan kehendak mereka.
Al-Kulainy di jilid I, hal 470 meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Bashir bahwa ia bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Apakah kalian pewaris nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Dia menjawab, “Benar!” Lantas aku bertanya lagi, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pewaris para nabi mengetahui apa yang mereka ketahui?” “Benar!”, jawabnya. Aku kembali bertanya, “Mampukah kalian menghidupkan orang yang sudah mati dan menyembuhkan orang yang buta dan orang yang terkena penyakit kusta?” “Ya, dengan izin Allah”, sahutnya.”
Husain bin Abdul Wahab dalam kitabnya ‘Uyun al-Mu’jizat hal 28 bercerita bahwasanya, Ali pernah berkata kepada sesosok mayat yang tidak diketahui pembunuhnya, “Berdirilah -dengan izin Allah- wahai Mudrik bin Handzalah bin Ghassan bin Buhairah bin ‘Amr bin al-Fadhl bin Hubab! Sesungguhnya Allah dengan izin-Nya telah menghidupkanmu dengan kedua tanganku!” Maka berkatalah Abu Ja’far Maytsam, Sesosok tubuh itu bangkit dalam keadaan memiliki sifat-sifat yang lebih sempurna dari matahari dan bulan, sembari berkata, “Aku dengar panggilanmu wahai yang menghidupkan tulang, wahai hujjah Allah di kalangan umat manusia, wahai satu-satunya yang memberikan kebaikan dan kenikmatan. Aku dengar panggilanmu wahai Ali, wahai Yang Maha Mengetahui.” Maka berkatalah amirul-mu’minin, “Siapakah yang telah membunuhmu?” Lantas orang tersebut memberitahukan pembunuhnya.
Berkata al-Kasany dalam kitabnya ‘Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din jilid II, hal 597, “Semua makhluk diciptakan untuk mereka (para imam), dari mereka, karena mereka, dengan mereka dan akan kembali kepada mereka. Karena -tanpa diragukan lagi- Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan dunia dan akhirat hanya untuk mereka. Dunia dan akhirat untuk mereka dan milik mereka. Para manusia adalah budak-budak mereka!”
Dengarlah salah seorang syaikh mereka Baqir al-faly yang mengatakan bahwasanya Nabiyullah Isa ‘alaihis salam mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali rodhiallahu ‘anhu, “Wahai para manusia, beberapa hari yang lalu telah dirayakan hari kelahiran Isa al-Masih, yang telah mendapatkan kehormatan untuk menjadi budak Ali bin Abi Thalib!”
Berkata Imam mereka Ayatullah al-Khomeini di dalam kitabnya Al-Hukumah al- Islamiyah hal 52, “Sesungguhnya para Imam memiliki kedudukan terpuji, derajat yang tinggi dan kekuasaan terhadap alam semesta, di mana seluruh bagian alam ini tunduk terhadap kekuasaan dan pengawasan mereka.”
Sulaim bin Qois dalam kitabnya hal 245 dengan ‘gagahnya’ berdusta dengan perkataannya, Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali, “Wahai Ali, sesungguhnya engkau adalah ilmu pengetahuan Allah yang paling agung sesudahku, engkau adalah tempat bersandar yang paling besar di hari kiamat. Barang siapa bernaung di bawah bayanganmu niscaya akan meraih kemenangan. Karena hisab (penghitungan amal) para makhluk berada di tanganmu, tempat kembali mereka adalah kepadamu. Mizan (timbangan amalan), shirath (jalan yang mengantarkan para hamba ke surga), dan al-mauqif (tempat berkumpulnya semua makhluk di hari akhir) semua itu adalah milikmu. Maka barang siapa yang bersandar kepadamu, niscaya akan selamat dan barang siapa yang menyelisihimu niscaya akan celaka dan binasa! Ya Allah, saksikanlah 3x!”
Na’udzubillah…
Dengarlah Basim al-Karbalaiy menghasung dan mendorong orang-orang Rafidhah untuk pergi ke kuburan Ali radhiallahu ‘anhu dan meminta kesembuhan darinya, berihram dan thawaf di sekitar kuburannya, “Wahai yang berada di bawah kubah putih di kota Najaf! Wahai Ali! Barang siapa yang berziarah ke kuburanmu dan meminta kesembuhan darimu niscaya dia akan sembuh!”
Di dalam kitab Wasail ad-Darojat karangan ash-Shaffar (hal 84), Abu Abdillah berkata: Konon Amirul Mu’minin pernah berkata, “Aku adalah ilmu Allah, aku adalah hati Allah yang sadar, aku adalah mulut Allah yang berbicara, aku adalah mata Allah yang melihat, aku adalah pinggang Allah, aku adalah tangan Allah.”
Na’uzubillah dari ghuluw ini!
Dengarlah Muhsin al-Khuwailidy dalam khotbah kufurnya di mana dia melekatkan kepada Ali sifat-sifat rububiyah Allah, “Dan di antara khutbah-khutbahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku mempunyai semua kunci hal-hal yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya sesudah Rasulullah kecuali aku. Aku-lah penguasa hisab, aku pemilik sirath dan mauqif, aku pembagi (distributor) surga dan neraka dengan perintah Robb-ku. Akulah yang menumbuhkan dedaunan dan mematangkan buah-buahan. Akulah yang memancarkan mata air dan mengalirkan sungai-sungai. Akulah yang menyimpan ilmu, akulah yang meniupkan tiupan pertama yang mengguncangkan alam, akulah sang petir, akulah shaihah. Aku adalah Al Quran yang tidak ada keraguan di dalamnya. Akulah asma al-husna yang para hamba diperintahkan untuk berdoa dengannya. Akulah yang memiliki sangkakala dan yang membangkitkan manusia dari dalam kubur. Akulah penguasa hari kebangkitan. Akulah yang menyelamatkan Nuh, yang menyembuhkan Ayub. Akulah yang menegakkan langit dengan perintah Tuhanku. Akulah si pemegang keputusan yang tidak dapat diubah, hisab para makhluk berada di tanganku. Para makhluk menyerahkan urusannya kepadaku. Akulah yang mengokohkan gunung-gunung yang menjulang tinggi, yang memancarkan mata air, dan yang menciptakan alam semesta. Akulah yang membangkitkan para mayat, yang menurunkan kuburan. Akulah yang memberi cahaya matahari, bulan dan bintang. Akulah yang membangkitkan hari kiamat, yang mengetahui hal yang telah lalu dan yang akan datang. Akulah yang membinasakan para raja lalim terdahulu dan yang melenyapkan negeri-negeri. Akulah yang menciptakan gempa, yang membuat gerhana matahari dan bulan. Aku pula yang menghancurkan fir’aun-fir’aun dengan pedangku ini. Akulah yang ditugasi Allah untuk melindungi orang-orang lemah dan Allah perintahkan mereka taat kepadaku.”
Dalam kitab Kasyf al-Yaqin Fi Fadhail Amir al-Mu’minin karya Hasan bin Yusuf bin al- Muthahhir al-Hilly (hal 8) disebutkan, Akhthab Khawarizm meriwayatkan dari Abdulloh bin Mas’ud bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tatkala Allah ciptakan Adam dan Dia tiupkan ruh-Nya ke dalamnya, Adam bersin lantas mengucapkan, “Alhamdulillah!” Maka Allah mewahyukan padanya, “Engkau telah memuji-Ku wahai hamba-Ku, demi kekuatan dan keagungan-Ku kalau bukan karena dua hamba yang akan Kutempatkan mereka di dunia, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu wahai Adam!” Serta merta Adam bertanya, “Mereka berdua dari keturunanku?”, “Betul wahai Adam. Angkatlah kepalamu dan lihatlah!” Maka Adam mengangkat kepalanya, dan ternyata telah tertulis di atas ‘Arsy, “Tidak ada yang berhak disembah selain Allah, Muhammad nabi kasih sayang dan Ali penegak hujjah. Barang siapa yang mengetahui hak Ali maka dia akan suci dan bahagia, dan barang siapa yang taat kepadanya meskipun dia berbuat maksiat kepada-Ku akan Kumasukkan ke dalam surga. Aku bersumpah demi kepekerkasaan-Ku; barang siapa yang tidak taat kepada Ali meskipun dia taat kepada-Ku, niscaya akan Kumasukkan ke dalam neraka!”
Lihatlah wahai para hamba Allah, bagaimana dia mengedepankan ketaatan kepada Ali di atas ketaatan kepada Allah!!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 33): Pengarang buku Masyariq al-Anwar telah meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Mufadhal bin ‘Amr: Aku pernah bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salaam tentang perihal sang imam; bagaimana ia bisa tahu apa yang ada di penjuru bumi, padahal ia berada di rumah yang tertutup? Lantas ia menjawab, “Wahai Mufadhal, sesungguhnya Allah telah menciptakan di dalam diri mereka 5 ruh:
  1. Ruh kehidupan, yang dengannya dia bisa memukul dan naik.
  2. Ruh kekuatan, yang dengannya dia bisa bangkit.
  3. Ruh syahwat, yang dengannya dia bisa makan dan minum.
  4. Ruh keimanan, yang dengannya dia memerintahkan dan berbuat adil.
  5. Ruh kudus, yang dengannya dia mengemban kenabian. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berpindahlah ruh kudus ke tubuh sang imam, maka dia tidak akan pernah lalai dan lengah. Dengan ruh itulah dia bisa melihat apapun yang ada di penjuru dunia. Tidak ada sesuatu pun di bumi dan di langit yang tersembunyi dari sang imam. Dia bisa mengetahui semua yang ada di langit semesta, sekecil dan selirih apapun dia. Barang siapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini, maka dia bukanlah seorang imam!”
Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 30), Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku bersama Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api dan akulah yang menjadikan api itu dingin serta menyelamatkan. Aku juga bersama Nuh di kapalnya lantas akulah yang menyelamatkan dia dari ketenggelaman. Aku juga bersama Musa, lantas aku ajarkan Taurat kepadanya. Aku jugalah yang menjadikan Isa berbicara saat dia masih dalam buaian, kemudian kuajarkan Injil padanya. Akulah yang bersama Yusuf di dalam sumur, lantas kuselamatkan dia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani, kemudian aku hembuskan angin baginya.”
Lantas apa yang tersisa untuk Allah?! Na’udzubillah dari ghuluw ini!!
Ziarah Makam Husain Lebih Utama Dari Haji Ke Baitullah
Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid I, hal 371) dan di dalam kitab al-Mazar karangan al-Mufid (hal 58) disebutkan: Dari Yunus bin Dzobyan, berkata Abu Abdillah, “Barang siapa yang ziarah ke makam Husain pada malam pertengahan bulan Sya’ban, malam Idul Fitri dan malam hari Arafah dalam satu tahun, niscaya Allah akan tuliskan baginya pahala 1000 ibadah haji yang mabrur, 1000 ibadah umrah yang diterima dan akan dikabulkan baginya 1000 doa yang berkenaan dengan kebutuhan-kebutuhan dia di dunia dan akhirat.”
Bahkan menurut orang-orang Rafidhah, para penziarah makam Husain itu lebih utama daripada orang-orang yang berada di padang Arafah. Dalam kitab Wasail asy-Syiah karangan al-Hurr al-’Amily (jilid X,hal 361) dan kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid VI, hal 42) disebutkan: Dari Ali bin Asbath, dari sebagian sahabat-sahabat kami, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam bahwa dia ditanya, “Benarkah Allah mendahulukan ‘menengok’ para peziarah makam Ali bin Husain ‘alaihi salam sebelum ‘menengok’ orang-orang yang berada di padang Arafah?”, “Betul” jawabnya. Lantas dia kembali ditanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Karena di antara orang-orang yang berada di padang Arafah terdapat anak-anak hasil perzinaan, adapun para penziarah makam Husain seluruhnya suci tidak ada satupun anak hasil perzinaan.” (Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! (-pen).
Na’udzubillah!
Dalam kitab Tahdzib al-Ahkam karya Abu Ja’far ath-Thusy (jilid V, hal 372) disebutkan: Dari Zaid asy-Syahham, dari Abu Abdillah ‘alaihi salam berkata, “Barang siapa yang ziarah makam Abu Abdillah (Husain) ‘alaihis salam pada hari ‘Asyura sedang dia mengetahui hak-haknya, seakan-akan dia telah menziarahi Allah di ‘Arsy-Nya.”
Na’udzubillah dari ghuluw dan kesesatan ini!


FAKTA KEDUA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Al Quran.
Semua umat Islam telah berijma’ bahwasanya kitab Allah selalu terjaga dari pengubahan, penambahan ataupun pengurangan. Ia terjaga dengan penjagaan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Para ulama besar Ahlusunnah telah menegaskan bahwa barang siapa yang meyakini di dalam Al Quran terdapat tambahan atau kekurangan, maka sesungguhnya ia telah dianggap keluar dari agama Islam (murtad). Akidah ini sudah amat sangat masyhur dan mutawatir di kalangan Ahlusunnah, sampai-sampai tidak lagi dibutuhkan seseorang untuk mendatangkan dalil-dalil tentangnya. Berkata Ibnu Qudamah dalam kitab Lum’ah al-I’tiqad (hal 19), “Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam, bahwa barang siapa yang mengingkari satu surat, atau satu kata, atau satu huruf dari Al Quran yang telah disepakati, maka sesungguhnya dia telah kafir.”

Syi’ah dan Keyakinan Mereka Tentang Tahrif (distorsi, pengubahan) Al Quran
Ulama-ulama Syi’ah yang paling menonjol yang berpendapat bahwa Al Quran telah mengalami distorsi adalah: Al-Kulainy, al-Qummy, al-Mufid, ath-Thobarsy, al-Kaasyany, al-Jazairy, al-Majlisy, al-’Amily, al-Khuu’iy, dan masih banyak yang lainnya.
Pertama:
Mari kita mulai dari al-Kulainy pengarang kitab al-Kaafi, kitabnya yang paling terpercaya di kalangan orang-orang Rafidhah. Pengarang berkata dalam jilid II, hal 634, ((Dari Hisyam bin Salim dari Abu Abdillah ‘alaihis salam ia berkata, “Sesungguhnya Al Quran yang dibawa Jibril kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari 17.000 ayat”)). Padahal sepengetahuan kita ayat-ayat Al Quran hanya berjumlah 6.000 ayat lebih sedikit. Riwayat kedua disebutkan dalam (jilid I, hal 228). Riwayat ketiga disebutkan dalam (jilid I, hal 228).
Riwayat keempat disebutkan dalam jilid I, hal 229: ((Dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah ia berkata, “Sesungguhnya yang berada di tangan kami adalah mushaf Fathimah. Tahukah kalian apa itu mushaf Fathimah?” Aku bertanya, “Apa itu mushaf Fathimah?” Ia menjawab, “Mushaf Fathimah tebalnya tiga kali lipat Al Quran kalian. Demi Allah tidak ada satu huruf pun dari Al Quran kalian, disebutkan di dalam mushaf Fathimah!”)).
Kedua:
Di antara ulama Rafidhah yang berpendapat bahwa Al Quran telah mengalami distorsi; Ali bin Ibrahim al-Qummy yang berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 36): ((Di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran:110). Berkata Abu Abdillah kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik, lantas membunuh amirul mukminin Hasan dan Husain bin Ali ‘alaihima salam??” Lantas ada yang bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut diturunkan wahai putra Rasulullah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian para imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia)”)).
Ketiga:
Ni’matullah al-Jazairy dalam jilid II, hal 363.
Keempat:
Al-Faidl al-Kaasyaany salah seorang ahli tafsir mereka yang tersohor dan pengarang Tafsir ash-Shafy, berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 49), ((Kesimpulan yang dapat diambil dari berita-berita ini dan riwayat-riwayat lainnya yang berasal dari ahlul bait ‘alaihis salam bahwasanya Al Quran yang ada di hadapan kita ini tidaklah sempurna, sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi di dalamnya terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Di dalamnya ada yang diubah dan banyak pula yang telah dihapus; seperti nama Ali dari berbagai ayat, lafadz aalu (keluarga) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nama-nama kaum munafikin dan hal-hal lainnya. Juga Al Quran tersebut tidak sesuai dengan susunan yang diridhoi oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam)).
Kelima:
Ahmad bin Manshur Ath-Thabarsy dalam kitabnya al-Ihtijaj (jilid I, hal 55) telah menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tatkala menceritakan kisah-kisah yang berkenaan dengan dosa-dosa dalam Al Quran, Allah telah menyebutkan secara terang-terangan nama para pelaku dosa tersebut. Akan tetapi para sahabat telah menghapus nama-nama tersebut, jadilah kisah-kisah itu disebutkan tanpa nama-nama pelakunya.
Keenam:
Berkata Muhammad bin Baqir Al Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid 89, hal 66): ((Bab distorsi dalam ayat-ayat Al Quran, sehingga tidak sesuai lagi dengan apa yang diturunkan oleh Allah)).
Ketujuh:
Muhammad bin Muhammad an-Nu’man yang dijuluki al-Mufid dalam kitabnya Awaail al- Maqaalaat (hal 91).
Kedelapan:
Abul Hasan Al ‘Aamily dalam muqaddimah kedua dari kitab tafsirnya Mira’ah al-Anwar wa Misykaah al-Asraar (hal 36) menyatakan, ((Ketahuilah, sesungguhnya Al Haq yang kita tidak bisa elakkan -berdasarkan kabar-kabar yang mutawatir ini dan lainnya- bahwa Al Quran yang ada di hadapan kita, telah diubah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya orang-orang yang mendapatkan tugas untuk menyampaikan Al Quran telah menghapus banyak kata-kata dan ayat-ayat)).
Kesembilan:
Abul Qasim al-Khuu’iy (Ulama kontemporer syiah) dalam kitabnya al-Bayan (hal 236).
Dengarlah Adnan al-Waa’il yang memberikan contoh salah satu distorsi yang dialami Al Quran: ((Ketika turun ayat (yang artinya) “Hai para rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu tentang Ali. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu berarti) kamu tidak menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari gangguan manusia.” (QS Al Maaidah: 67)).
FAKTA KETIGA: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai para sahabat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ummahatul mu’minin.
Keutamaan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tingginya kedudukan serta derajat mereka, sudah merupakan sesuatu yang diketahui oleh semua orang. Hal itu juga termasuk hal-hal yang diketahui dari agama Islam secara dharurah. Ini disebabkan karena melimpahnya dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut, baik dari Al Quran maupun As Sunnah. Sekarang bukan waktunya untuk menyebutkan semua dalil-dalil itu, akan tetapi barangkali kami akan menyebutkan sebagian saja:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
((مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْأِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً)) الفتح:29
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka, tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih diantara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath: 29)
Ayat yang mulia ini mencakup seluruh sahabat karena mereka semua bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menguatkan apa yang telah lalu: hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim; dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari dari Abu Sa’id dia berkata: ((Pada suatu saat terjadi suatu masalah antara Khalid bin Walid dengan Abdurrahman bin ‘Auf, lantas Khalid memaki Abdurrahman. Ketika mendengar hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku, sesungguhnya jika salah seorang dari kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan dapat menyamai (pahala) satu genggam atau setengah genggam (nafkah) salah seorang dari mereka.” Hadits ini juga mencakup seluruh sahabat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memaki salah seorang dari sahabatku.”
Syi’ah dan Penghinaan Mereka Terhadap Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dalam kitab ar-Raudhah min al-Kafi (hal 245) disebutkan, ((Dari Hanan, dari bapaknya, dari Abu Ja’far ‘alaihis salam, ia berkata, “Sesungguhnya para manusia telah murtad sesudah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tiga orang.” Lantas aku bertanya: “Siapakah tiga orang itu?” Dia menjawab: “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifary dan Salman al-Farisy.”)).
Ash-Shafy dalam tafsirnya (jilid V, hal 28) berkata, ((Dari Abdurrahman bin Katsir, dari Abu Abdillah, dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad: 25). Dia berkata, “fulan dan fulan”, yang dia maksud adalah Abu Bakar dan Umar)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 53), ((Telah diriwayatkan dalam berita-berita khusus bahwa tatkala Abu Bakar sholat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia menggantungkan berhala di lehernya, dan sujudnya adalah untuk berhala itu)). Na’udzubillah dari kedustaan ini!
Dengarlah salah seorang syaikh orang Syi’ah yang tanpa tedeng aling-aling melaknat Ash Shiddiq, ((Para ulama Syi’ah telah bersaksi bahwa ada riwayat-riwayat valid yang kevalidannya melahirkan dalil-dalil atas si penjahat Abu Bakar, hal tersebut karena adanya dia di masjid dan kembalinya dia dari pasukan pertama. Kedua melanggar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketiga tidak sholatnya dia bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dengarlah wahai siapa yang berkata, Tidak boleh melaknat. Semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar!, semoga Allah melaknat Abu Bakar! Dan semoga Allah melaknat Umar dan para pembangkang lainnya! Semoga Allah melaknat siapa saja yang tidak rela dengan dilaknatnya mereka! Kebencian-kebencian umat ini…)).
Dengan busuknya Ni’matullah al-Jazary berkata dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 63), ((Konon Umar terkena penyakit di duburnya dan tidak bisa disembuhkan kecuali dengan air mani para lelaki)).
Berkata Zainudin al-Bayadhy dalam kitabnya ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 129), ((Sebenarnya Umar itu telah menyembunyikan kekufuran dan memperlihatkan keislaman)).
Dalam kitab al-Anwar an-Nu’maniyah milik Ni’matullah al-Jazairy (jilid I, hal 81) disebutkan, ((Telah disebutkan dalam riwayat-riwayat khusus bahwasanya syaitan dibelenggu dengan 70 belenggu dari besi jahanam lantas digiring ke padang mahsyar, tiba-tiba sesampainya di sana dia melihat seseorang di depannya yang ditarik oleh malaikat azab dan di lehernya terdapat 120 belenggu dari belenggu-belenggu jahanam, dengan terheran-heran syaitan itu mendekat lantas bertanya, “Apa yang dikerjakan orang yang amat malang ini hingga siksaannya jauh lebih berat dariku? Padahal aku telah menyesatkan para makhluk hingga aku masukkan mereka ke dalam pintu-pintu kebinasaan.” Maka berkatalah Umar (Maksudnya makhluk malang yang dibelenggu dengan 120 rantai neraka jahanam adalah amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu! Qaatalahumulloh! -pen) kepada si syaitan, “Tidak ada yang kukerjakan melainkan hanya merampas kekhilafahan Ali bin Abi Thalib.”)).
Di antara yang dituduhkan gerombolan orang-orang Rafidhah terhadap amirul mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu; apa yang disebutkan oleh Zainuddin al-Bayadhy dalam kitabnya ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim (jilid III, hal 30), ((Pada suatu saat di zaman Utsman didatangkan seorang perempuan untuk dihukum hadd, lantas oleh Utsman perempuan tersebut dizinai terlebih dahulu baru kemudian diperintahkan untuk dirajam)).
Belum puas Rafidhah dengan tuduhan keji ini, bahkan dalam kitab yang sama dan halaman yang sama disebutkan bahwa Utsman itu termasuk orang-orang yang dipermainkan (para laki-laki) dan bertingkah laku seperti perempuan, serta suka main rebana.
Dengarlah bagaimana Hasan ash-Shaffar berbangga karena Rafidhah-lah yang telah membunuh Utsman radhiallahu ‘anhu, ((Sesungguhnya Syiah-lah yang telah membunuh Utsman, semoga Allah memberikan pahala yang baik buat mereka)).
Al-Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid XXX, hal 237) berkata, ((Kisah-kisah yang menerangkan kekafiran Abu Bakar dan Umar, penyelewengan mereka, serta pahala orang yang melaknat dan berlepas diri dari mereka dan dari bid’ah-bid’ah mereka amat sangat banyak untuk disebutkan dalam satu jilid atau dalam buku yang berjilid-jilid lainnya)).
Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid III, hal 20) surat an-Nahl:
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.” (QS. An Nahl: 90)
Al-’Ayasyi berkata: Al- Fahsyaa (perbuatan keji) yaitu yang pertama (maksudnya Abu Bakr), al-Munkar (kemungkaran) yaitu yang kedua (maksudnya Umar al-Faruq), al-Baghy (permusuhan) yaitu yang ketiga (maksudnya: Utsman bin Affan).
Semoga Allah meridhai seluruh shahabat.
Bahkan al-Majlisy dalam (jilid XXX, hal 235) menukil dari Tafsir al-Qummy dalam firman Allah ta’ala,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
“Katakanlah: aku berlindung dari Rabb al Falaq.”
Al-Falaq adalah kawah di Jahanam, seluruh penghuni neraka memohon perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya, lantas kawah itu minta izin untuk bernafas, maka diizinkanlah, akibatnya terbakarlah neraka jahanam. Dan di dalam kawah tersebut ada sebuah peti yang mana penghuni kawah tersebut memohon perlindungan kepada Allah darinya karena saking panasnya. Peti itulah yang dinamakan Tabut. Di dalam Tabut itu ada enam orang terdahulu dan enam orang yang hidup setelah zaman mereka. Adapun enam orang yang hidup setelah zaman mereka adalah: nomor pertama, kedua, ketiga dan keempat. Nomor pertama maksudnya Abu Bakar, yang kedua maksudnya Umar, yang ketiga Utsman dan yang keempat Mu’awiyah radhiallahu ‘anhum.
Al-Majlisy berkata dalam (jilid XXX, hal 237), ((Keterangan tentang dua orang Arab badui yang pertama dan kedua -yakni Abu Bakar dan Umar-, yang tak pernah beriman kepada Allah sekejap mata pun)). Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup Rafidhah sampai sini, bahkan mereka melampaui batas hingga ‘menyerang’ Ummahatul Mukminin. Berkata Ja’far Murtadho dalam bukunya Hadits al-Ifk (hal 17), ((Sesungguhnya kami meyakini, sebagaimana (keyakinan) para ulama-ulama besar kami pakar pemikiran dan penelitian, bahwa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpeluang untuk kafir sebagaimana istri Nuh dan istri Luth)), dan yang dimaksud istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini adalah ‘Aisyah. Hasyim al-Bahrany berkata dalam tafsirnya al-Burhan (jilid IV, hal 358) surat at-Tahrim, ((Berkata Syarafuddin an-Najafy, “Diriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihis salam bahwa dia berkata dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir.” (QS. At Tahrim: 10)
Perumpamaan ini Allah buat untuk Aisyah dan Hafshah, karena keduanya demo terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuka rahasianya)).
Ali bin Ibrahim al-Qummy berkata, ((Lantas Allah membuat perumpamaan untuk ‘Aisyah dan Hafshah dan berkata, “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba-hamba kami, lalu kedua istri itu berkhianat.” Demi Allah yang dimaksud dengan berkhianat tidak lain hanyalah berzina (na’udzubillah). Niscaya akan dilakukan hukum had atas fulanah (yang dia maksud adalah ‘Aisyah) atas apa yang dikerjakannya di jalan Bashrah. Dikisahkan bahwa fulan (yang dia maksud Thalhah) mencintai ‘Aisyah. Tatkala ‘Aisyah akan safar ke Bashrah, berkatalah Thalhah, “Kamu itu tidak boleh safar kecuali dengan mahram.” Lantas Aisyah mengawinkan dirinya dengan fulan, dalam suatu naskah disebutkan dengan Thalhah)).
Berkata Muhammad al-’Ayasyi dalam tafsirnya (jilid XXXII, hal 286) surat Ali Imran, dari Abdush Shamad bin Basyar dari Abi Abdillah radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Tahukah kalian Nabi itu meninggal atau dibunuh? Sesungguhnya Allah berfirman,
أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad).” (QS. Ali Imran: 144). Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diracuni sebelum wafatnya, dan mereka berdualah yang meracuninya (yakni ‘Aisyah dan Hafshah)! Sesungguhnya dua perempuan tersebut dan bapak mereka adalah sejahat-jahat ciptaan Allah! Wa la haula wa la quwwata illa billah!
Belum cukup al-Majlisy sampai di situ, bahkan dia berkata dalam kitabnya Bihar al-Anwar (jilid XXXII, hal 286), ((Dari Salim bin Makram dari bapaknya ia berkata, Aku mendengar Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata di dalam firman Allah,
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتاً وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan-perlindungan selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah, dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba.” (QS. Al Ankabut: 41). Laba-laba itu adalah al-Humaira (Aisyah-pen). Kenapa dimisalkan dengan laba-laba? karena dia adalah binatang yang lemah dan membuat sarang yang lemah; begitu pula al-Humaira (yakni Aisyah), dia itu binatang yang lemah, lemah kedudukan dan akal serta agamanya. Hal itu menjadikan pendapatnya lemah dan akalnya yang tolol, hingga melakukan pelanggaran dan permusuhan terhadap Tuhannya. Persis dengan sarang laba-laba yang lemah!))

FAKTA KEEMPAT: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Ahlusunnah.
Tuhan Orang Syi’ah Beda Dengan Tuhan Ahlusunnah
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid I, hal 278), ((Sesungguhnya kami (kaum Syi’ah) tidak pernah bersepakat dengan mereka (Ahlusunnah) dalam menentukan Allah, nabi maupun imam. Sebab mereka (Ahlusunnah) mengatakan bahwa Tuhan mereka adalah Tuhan yang menunjuk Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai pengganti Muhammad sesudah beliau wafat. Kami (kaum syi’ah) tidak setuju dengan Tuhan model seperti ini, juga kami tidak setuju dengan model nabi yang seperti itu. Sesungguhnya Tuhan yang memilih Abu Bakar sebagai pengganti nabi-Nya, bukanlah Tuhan kami. Dan nabi model seperti itu pun bukan nabi kami!)). Na’udzubillah dari kekufuran dan kesesatan ini!!!

Pengertian an-Naashib Dalam ‘Kamus’ Rafidhah
An-Nawaashib mufradnya naashib. Definisinya menurut Ahlusunnah adalah: Orang-orang yang mengalahkan serta melaknat Ali dan keluarganya. Sedangkan definisinya versi orang-orang Syi’ah: An-Nawashib adalah Ahlusunnah yang mencintai Abu Bakar, Umar dan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya radhiallahu ‘anhum.
Husain Aal ‘Ushfur ad-Darraz al-Bahrany dalam kitabnya al-Mahasin an-Nafsaniyah Fi Ajwibati al-Masail al-Khurasaniyah (hal 147) berkata, ((Berita-berita yang bersumber dari para imam ‘alaihis salam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan an-Nashib adalah yang biasa dipanggil dengan julukan Sunni)). Dia juga berkata, ((Tidak perlu lagi dipermasalahkan bahwa yang dimaksud dengan an-Nashibah adalah Ahlusunnah)).
Berkata Ni’matullah al-Jazairy dalam kitabnya al-Anwar an-Nu’maniyah (jilid II, hal 306-307), ((Adapun orang Nashibi, kondisi dan hukum-hukum yang berkaitan dengan mereka bisa dijelaskan dalam dua hal: Pertama, siapakah yang dimaksud dengan an-Nashib yang diceritakan dalam berbagai riwayat mereka itu lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi. Yang juga mereka itu kafir dan najis menurut ijma’ para ulama imamiyah… Dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa di antara ciri khas orang-orang Nawashib adalah: mendahulukan selain Ali atasnya)). Perkataan orang satu ini menunjukkan bahwa setiap yang mendahulukan kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman sebelum kepemimpinan Ali radhiallahu ‘anhu, maka dia adalah Nashibi menurut versi orang-orang Rafidhah; padahal orang-orang Nashibi itu menurut mereka lebih jahat dari orang Yahudi, Nashrani dan Majusi, bahkan dianggap kafir dan najis!!! Na’udzubillah!!
Kaum Rafidhah Menghalalkan Harta dan Nyawa Ahlusunnah
Berkata Yusuf al-Bahrany dalam kitabnya al-Hadaaiq an-Naadhirah Fii Ahkaam al-’Itrah ath- Thaahirah (jilid XII, hal 323), “Sesungguhnya anggapan bahwa an-Nashib itu muslim, dan juga anggapan bahwa agama Islam tidak membolehkan untuk mengambil harta mereka, ini semua tidak sesuai dengan ajaran kelompok yang benar (maksudnya Syi’ah -pen) mulai dari dahulu sampai sekarang, yang mana mereka itu mengatakan bahwa an-Nashib itu kafir dan najis serta boleh diambil hartanya bahkan dibenarkan untuk dibunuh.”
Dalam kitab Wasail asy-Syi’ah karangan al-Hur al-’Amily (jilid XVIII, hal 463) disebutkan, ((Berkata Dawud bin Farqad, Aku bertanya kepada Abu Abdillah ‘alaihis salam, “Apa pendapatmu tentang an-Nashib?” Dia menjawab, “Halal darahnya (nyawanya -pen) tapi aku bertaqiyyah (Lihat maksud dari istilah taqiyyah di epilog dari tulisan ini -pen). darinya. Seandainya engkau bisa membunuhnya dengan cara meruntuhkan suatu tembok atasnya atau kamu tenggelamkan dia, supaya tidak ketahuan bahwa kamulah pembunuhnya, maka lakukanlah!”)). Aku bertanya lagi, “Lantas bagaimana dengan hartanya?” Dia menjawab, “Musnahkanlah hartanya semampumu!”)).
Dalam kitab ar-Raudhah min al-Kafi (hal 285) disebutkan, ((Dari Abu Hamzah, Aku bertanya kepada Abu Ja’far ‘alaihis salam, “Sebagian kawan-kawan kami memfitnah dan menuduh yang tidak-tidak terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka?” Dia menjawab, “Lebih baik engkau tinggalkan perbuatan itu! Demi Allah wahai Abu Hamzah sesungguhnya seluruh manusia adalah anak-anak pelacur kecuali para pendukung kita!!”)). Yang dia maksud adalah: bahwa semua manusia adalah anak-anak hasil perzinaan kecuali orang-orang Syi’ah (Bagaimana mungkin mereka menganggap semua orang Syi’ah suci dan bukan hasil perzinaan, padahal zina (baca: nikah mut’ah) sendiri mereka anggap merupakan salah satu ritual ibadah yang paling utama?!! -pen). Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Orang-Orang Rafidhah Mengkafirkan Golongan Ahlusunnah
Al-Faidl al-Kasyany dalam kitabnya Minhaj an-Najah (hal 48) berkata, “Barang siapa yang mengingkari keimaman salah seorang dari mereka (yakni para imam yang dua belas) maka sesungguhnya dia itu sama dengan orang yang mengingkari kenabian seluruh para nabi.”
Berkata al-Maamaqaany dalam kitabnya Taudhih al-Maqaal (jilid I, hal 208), “Kesimpulan yang dapat diambil dari kitab-kitab, bahwa setiap yang tidak bermazhab itsna ‘asyar (syi’ah) akan diterapkan baginya hukum orang kafir dan musyrik di akhirat.”
Dengarlah orang-orang Rawafidh yang terang-terangan melaknat para ulama Islam seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Samahah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah: “Ini syeikh Bin Baz, kalian anggap dia itu syaikh?! Wahai orang-orang yang najis!, orang-orang yang kotor!, wahai para pengikut Ibnu Taimiyyah si anjing itu! Wahai para pengikut Bin Baz al-Munafiq si buta mata dan hati! Semoga Allah melaknat dia!!! Semoga Allah melaknat dia!! Anjing kalian ikuti?!, kalau bukan karena kalian binatang niscaya kalian tidak akan mengikuti binatang, babi seperti Bin Baz!!!)). Wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Keyakinan Rafidah Mengenai Al-Mahdi Yang Dinanti-nantikan
Ahlusunnah meyakini bahwa di akhir zaman nanti akan muncul seorang dari ahlul bait, Allah kokohkan dengannya agama Islam, dia berkuasa tujuh tahun, memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan kezaliman. Bumi menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, langit menurunkan hujannya, harta melimpah ruah tanpa batas.
Adapun Rafidhah, maka telah terjadi kontradiksi dalam keyakinan mereka tentang al-Mahdi; terkadang mereka mengingkari lahirnya al-Mahdi sebagaimana yang dikatakan oleh al-Kulainy dalam kitabnya Ushul al-Kafi (jilid I, hal 505), Ibnu Baabawaih al-Qummy dalam kitabnya Kamaal ad-Din Wa Tamaam an-Ni’mah (hal 51), juga al-Majlisy dalam kitabnya Bihaar al-Anwar (jilid 50, hal 329), bahwa al-Mahdi tidak akan dilahirkan, sebab harta warisan ayah al-Mahdi yang bernama al-Hasan al-’Askary sudah terlanjur dibagi-bagi.
Akan tetapi terkadang mereka mengatakan bahwa al-Mahdi telah dilahirkan, akan tetapi dia masih bersembunyi di suatu tempat yang bernama gua as-Saamuroi, dan akan muncul kelak di akhir zaman untuk membantu Syi’ah dan membunuhi musuh-musuh mereka dari kalangan Ahlusunnah.
Agar kerancuan itu lenyap, akan kita sebutkan perbedaan-perbedaan antara Mahdinya orang Islam dengan Mahdi yang diklaim oleh orang Rafidhah.
Pertama, Mahdinya orang Islam bernama Muhammad bin Abdullah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Namanya (al-Mahdi -pen) sama dengan namaku, dan nama bapaknya (al-Mahdi -pen) juga sama dengan nama bapakku.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzy, serta dishahihkan oleh al-Albany dalam Misykaat al-Mashabih). Adapun Mahdi yang diakui oleh orang Rafidhah bernama Muhammad bin al-Hasan al-’Askary sebagaimana yang disebutkan oleh al-Arbaly dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 226).
Kedua, Mahdinya orang Islam belum dilahirkan hingga sekarang dan dia akan dilahirkan di akhir zaman. Adapun mahdinya orang Rafidhah sesungguhnya telah dilahirkan pada tahun 255 H. Berkata al-Arbaly dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah (jilid III, hal 236), “Al-Mahdi lahir pada malam pertengahan Sya’ban tahun 255 H, lantas tatkala berumur lima tahun dia masuk gua as-Samuroi di Irak. Dan sekarang dia masih hidup.” Jadi sejak tahun itu sampai hari ini mahdi khurafatnya orang Rafidhah sudah berumur 1168 tahun!!!
Ini syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir berusaha keras untuk membuktikan adanya al-Mahdi khurafat mereka, “Manusia itu bisa saja hidup ribuan tahun, ditambah lagi kita tidak mengetahui umur yang disebutkan dalam Al Quran. Sedangkan umur 70 tahun, 60 tahun, 80 tahun, itu semua umur alami. Umur itu tidak ada yang tahu panjangnya kecuali Allah. Mungkin saja seseorang hidup seumuran Nuh. Nuh hidup 3000 tahun. Ilmu mutakhir membuktikan bahwa tidak ada suatu hal yang menghalangi panjangnya umur seseorang, seandainya Allah menghendaki. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, karena Allah menciptakanmu tidak hanya untuk hidup 60 tahun kemudian kamu mati, seandainya jika memang belum ada sebab-sebab kematian. Para ilmuwan berkata: Seandainya manusia selalu berada di atas metode ilmiah yang tepat di dalam makannya, minumnya, pakaiannya, tidurnya dan bangunnya, niscaya dia bisa hidup ribuan tahun!”
Ketiga, Mahdinya orang Islam dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keturunan al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu, adapun mahdi yang diklaim oleh Rafidhah itu keturunan al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu.
Keempat, Mahdinya orang Islam tinggal selama 7 tahun, adapun Mahdi yang diklaim oleh Rafidhah tinggal selama 70 tahun.
Kelima, Mahdinya orang Islam memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman. Adapun Mahdinya orang Rafidhah, sesungguhnya dia akan membunuhi orang-orang Islam musuh-musuh Rafidhah, bahkan dia akan menghidupkan kembali ash-Shiddiq dan al-Faaruq; Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, kemudian menyalib keduanya, juga mencambuk Aisyah dengan cambukan had. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ar-Raj’ah karangan Ahmad al-Ahsaa’iy (hal 161).
Bahkan Mahdinya Rafidhah banyak melakukan pembunuhan di muka bumi ini terutama orang-orang Quraisy. Sampai-sampai mereka berkata: bahwasanya al-Mahdi akan membunuh dua pertiga dari penduduk bumi.
Demi Allah, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pekerjaan al-Masih ad-Dajjal! Bahkan dalam Bihaar al-Anwar (jilid 52, hal 354) disebutkan, ((Telah diriwayatkan dari Abu Ja’far ‘alaihis salam bahwa dia berkata: Hingga kebanyakan manusia berkata: “Dia bukanlah dari keluarga Nabi Muhammad, seandainya dia dari keluarga Muhammad, niscaya dia itu akan bersikap lemah lembut.”)).
Keenam, Mahdinya orang Islam menegakkan syariatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun mahdinya yang diklaim Rafidhah dia akan menegakkan hukum keluarga Dawud, bahkan akan menyeru Allah dengan nama Ibraninya. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Ushul al-Kaafi (jilid I, hal 398).
Ketujuh, Mahdinya orang Islam Allah turunkan dengannya hujan, lantas bumi menumbuhkan tetumbuhannya. Adapun Mahdinya Rafidhah maka akan menghancurkan Ka’bah, Masjidil Haram, Masjid Nabawi bahkan akan menghancurkan semua masjid (yang ada di muka bumi -pen). Sebagaimana yang disebutkan oleh ath-Thusy dalam kitabnya al-Gharib (hal 472).
Kedelapan, Mahdinya orang Islam memerangi Yahudi dan Nasrani, sampai agama betul-betul menjadi milik Allah semata, dan dia beserta nabi Isa akan membunuh Dajjal. Adapun Mahdinya orang-orang Rafidhah maka dia akan berdamai dengan orang Yahudi dan Nasrani, lantas menghalalkan darah orang Islam dan membalas dendam terhadap mereka. Sebagaimana diterangkan al-Majlisy dalam kitabnya Bihar al-Anwar (jilid 52, hal 376).
Dengan demikian hilanglah ketidakjelasan perbedaan antara dua mahdi. Dan tidak mungkin Mahdinya orang Islam dengan Mahdinya orang Rafidhah itu satu.


Fakta Kelima: Syi’ah bercerita tentang keyakinan mereka mengenai Hari ‘Asyura.
Pada hari ‘Asyura orang-orang Islam menunaikan ibadah puasa, dalam rangka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Kitab-kitab orang Rafidhah juga memerintahkan untuk berpuasa pada hari ‘Asyura, akan tetapi anehnya orang-orang Rafidhah sendiri mengingkari puasa tersebut, bahkan menuduh bahwa orang-orang kerajaan Umawi-lah yang membuat-buat riwayat-riwayat palsu yang menghasung puasa ‘Asyura.

Setiap tahun, pada hari-hari bulan Muharam, terutama tanggal sepuluh, orang-orang Rafidhah melakukan perbuatan-perbuatan ‘aib yang memalukan; mulai dari memakai pakaian hitam, mengadakan majelis-majelis Al Husainiyah, mengadakan ceramah-ceramah dan perkumpulan-perkumpulan yang diselingi dengan pelaknatan terhadap Mu’awiyah radhiallahu ‘anhu dan anaknya Yazid serta kepada bani Umayyah secara keseluruhan. Juga mereka menganiaya diri mereka sendiri dan memukuli diri mereka dengan rantai dan pedang. Serta masih banyak penyelewengan-penyelewengan syariat lainnya, yang mana itu semua dengan dalih mengungkapkan rasa bela sungkawa dan berkabung atas kematian Husain radhiallahu ‘anhu.
Dengarlah syaikh mereka Abdul Hamid al-Muhajir yang melegalisir aksi orang-orang Rafidhah pada hari ‘Asyura, “Jangan kalian dengar orang yang berkata bahwa memukul-mukul kepala dengan rantai, menampar dan menangis itu haram, sesungguhnya mereka itu tidak paham agama Islam. Pada asalnya sesuatu itu diharamkan seandainya membahayakan, kalau membahayakan baru bisa dikatakan haram, dan ini tidak ada hubungannya dengan memukul-mukul kepala dan memukul-mukul kaki, siapa bilang itu haram? Mengharamkan sesuatu butuh dalil, karena pada asalnya segala sesuatu itu hukumnya halal!!”
Inilah ulama kita yang mulia Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang mengingkari bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran Rafidhah pada hari-hari ‘Asyura dengan perkataannya, “Orang yang menjadikan hari ‘Asyura sebagai hari penebusan dosa dan hari berkabung, sebagaimana orang-orang Rafidhah yang pada hari itu mereka memukul-mukul dada-dada dan tubuh-tubuh mereka serta memukul-mukul diri mereka dengan besi, mencaci maki dan melaknat. Ini semua merupakan sebagian dari kebodohan, kesesatan serta kebid’ahan mereka yang tercela. Kita memohon kepada Allah keselamatan dari itu semua. Niyahah (ratapan), memukul-mukul pipi, serta merobek-robek pakaian, tetap merupakan perbuatan mungkar, kapan saja dan di mana saja sampai pun pada hari di mana Husain terbunuh, atau di saat musibah apapun. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari perbuatan itu dan bersabda, ‘Tidak termasuk dari golongan kami: orang-orang yang memukul-mukul pipi dan merobek-robek pakaian serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ‘Allah melaknat ash- Shaliqah, al-Haliqah serta asy-Syaqqah.’ Ash-Shaliqah: adalah orang yang meraung-raung ketika terjadi musibah, al-Haliqah: yang menggundul rambutnya, asy-Syaqqah: yang merobek-robek pakaiannya. Ini semua merupakan kemungkaran, na’udzubillah!. Orang-orang Rafidhah memperbolehkan aksi-aksi tersebut dengan dalih bahwa itu ungkapan dukungan terhadap ahlul bait dan sebagai ungkapan kesedihan. Padahal dengan aksi-aksi tersebut mereka telah menyakiti diri mereka sendiri dan menjadikan Allah murka terhadap perbuatan buruk tersebut, sebab aksi itu telah menyelisihi syariat dan merupakan bid’ah yang mungkar.”
Bagaimana mungkin kita bisa bersatu dengan orang-orang yang selalu mencekoki masyarakatnya setiap tahun dengan perasaan dendam dan dengki terhadap Ahlusunnah, dengan dalih bahwa Ahlusunnah-lah yang telah membunuh Husain. Padahal kitab-kitab Syi’ah dipenuhi riwayat-riwayat yang membuktikan bahwa orang Syia’h Kufah-lah yang telah mengkhianati Husain radhiallahu ‘anhu, sebagaimana sebelumnya mereka telah berkhianat kepada saudara dan bapaknya.
Dalam kitab Maqtal al-Husain karya Abdul Razak al-Mukrim (hal 175) disebutkan: ((Bahwa Husain radhiallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya merekalah yang telah mengkhianatiku, lihatlah surat-surat yang berasal dari Kufah ini! Sesungguhnya merekalah yang telah membunuhku!”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab Muntaha al-Aamal Fi Tarikh an-Nabiy wa al-Aal (jilid I, hal 535).
Bahkan referensi Syi’ah yang tersohor Muhsin al-Amin dalam A’yaan asy-Syi’ah (jilid I, hal 32) berkata, “Kemudian 20.000 penduduk Irak yang telah membai’at Husain mengkhianatinya dan meninggalkannya, padahal tali bai’at masih tergantung di leher mereka. Kemudian mereka membunuh al-Husain.”
Dalam kitab al-Ihtijaj karangan ath-Thabarsy (hal 306) disebutkan, ((Bahwa Ali bin Husain yang dikenal dengan julukan Zainal Abidin berkata: “Wahai para manusia, demi Allah tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian-lah yang telah menulis surat terhadap bapakku, lantas kalian tipu dia?! Kalian telah berjanji dan membai’at bapakku lantas kalian bunuh dan terlantarkan dia?! Celakalah kalian atas apa yang telah kalian lakukan. Bagaimana kelak kalian bisa memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala beliau kelak berkata, ‘Kalian telah membunuh keluargaku dan kalian rusak kehormatanku, sesungguhnya kalian bukanlah dari golongan kami!’”)).
Dalam kitab Maqtal al-Husain karangan Murtadha ‘Ayyad (hal 83) dan dalam kitab Nafs al-Mahmum karangan ‘Abbas Al Qummy (hal 357) disebutkan, ((Tatkala Imam Zainal Abidin rahimahullah lewat dan melihat orang Kufah menangis dan meratap (berkabung atas meninggalnya Husain), beliau membentak mereka seraya berkata, “Kalian meratapi diri kami??! Lantas siapakah yang membunuh kami? (kalau bukan kalian?? -pen)”)). Hal yang senada disebutkan dalam kitab al-Ihtijaj karya ath-Thabarsy (hal 304).
Dengarlah ulama kita Al ‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang menerangkan kejadian yang sebenarnya tentang Husain radhiallahu ‘anhu, juga menerangkan sikap Ahlusunnah terhadap fitnah tersebut: “Tatkala Husain bin Ali radhiallahu ‘anhu mendengar berita tentang kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh Yazid bin Mu’awiyah, beliau keluar dari Mekkah menuju Irak, dengan tujuan menyatukan kalimat kaum muslimin di atas kebaikan serta menegakkan syariat Islam. Sebagian saudara-saudaranya dari para sahabat telah menasihatinya agar tidak pergi, tapi beliau berijtihad untuk berangkat. (Tatkala mendengar keberangkatan al-Husain) Ubaidullah bin Ziyad mengutus pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’id bin Abi Waqqas, hingga terjadilah peperangan antara dua pihak. Orang-orang yang bersama Husain saat itu sedikit sekali yaitu keluarga dia. Maka terbunuhlah Husain dan banyak korban berjatuhan dari orang-orang yang bersamanya di suatu tempat yang bernama Karbala. Ubaidullah bin Ziyad telah bersalah karena perbuatannya, sebenarnya Husain sudah berkehendak pulang dan meninggalkan fitnah, atau pergi ke Yazid, atau pergi ke daerah sekitar. Akan tetapi pasukan tersebut terus memerangi dia sampai akhirnya membunuh dia dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk melindungi dia. Hingga terbunuhlah Husain dalam keadaan terzalimi dan tidak bersalah. Maka terjadilah musibah besar yang membuka pintu keburukan yang besar! nas’alullah al-’afiyah!”
Mereka (Ubaidullah dkk) telah berbuat salah dengan perbuatan mereka tersebut, semoga Allah meridhai Husain dan memberi rahmat kepadanya, kepada kita serta kepada semua kaum Muslimin. Semoga Allah membalas orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan itu dengan balasan yang setimpal. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan-kejahatan Rafidhah dan perbuatan-perbuatan mereka yang hina, serta Allah kembalikan mereka ke pangkuan Islam dan petunjuk.
Epilog
Para pembaca yang budiman, setelah kita melakukan ‘pengembaraan’ dari satu referensi ke referensi yang lain yang berada di perpustakaan kelompok Syi’ah, penulis ingin menarik perhatian para pembaca kepada dua perkara penting yang erat kaitannya dengan pembahasan kita kali ini.
Dua hal itu adalah:
Pertama- Kami rasa setiap yang membaca makalah ini akan bisa langsung menarik kesimpulan betapa sesatnya kelompok yang satu ini, bahkan dia bisa mengatakan bahwa yang menganut keyakinan tersebut di atas tidak lagi bisa dianggap beragama Islam. (Bahkan ada salah seorang awam yang tatkala membaca awal makalah ini, tidak bisa mengeluarkan kata-kata kecuali hanya: “Ini kelompok dholal (sesat) banget sich!”).
Yang ingin kami jelaskan di sini: Sedemikian sesatnya kelompok Syi’ah ini, masih ada -sampai detik ini- orang-orang yang berusaha dengan gigihnya untuk menyatukan antara Syi’ah dan Ahlusunnah di bawah satu payung, dan mengatakan bahwa perbedaan kita dengan Syi’ah hanyalah seperti perbedaan antara empat mazhab Ahlusunnah; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Entah karena mereka tidak tahu kesesatan Syi’ah atau karena pura-pura tidak tahu. Wallahua’lam… Kalau tidak tahu kenapa berbicara, bukankah orang yang tidak tahu sebaiknya diam saja? Kalaupun tahu kenapa tidak menerangkan hakikat kelompok Syi’ah itu kepada pengikutnya??
Berikut penulis bawakan statemen-statemen pembesar kelompok pergerakan ini yang terang-terangan berusaha menyatukan antara Ahlusunnah dan Syi’ah (Silahkan baca: ibid hal: 238-268, dan al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah Fa’rifuha, karya Abu Ibrahim bin Sulthan al-’Adnani, hal: 68-71)
Mari kita mulai dengan perkataan pendiri kelompok ini Hasan al-Banna rahimahullah, “Ketahuilah bahwa Ahlusunnah dan Syi’ah semuanya termasuk kaum muslimin, mereka disatukan dengan kalimat La ilaaha illAllah wa anna Muhammadan Rasulullah (Padahal syahadat orang Syi’ah mereka tambahi dengan: wa anna ‘aliyyan waliyyullah washiyyu rasulillah wa khalifatuhu bila fashl. Silahkan lihat cover buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, karya as-Sayyid Mandzur Husain -pen), ini adalah inti aqidah, Sunah dan Syi’ah sepakat di dalamnya, dan di atas kesucian. Adapun perkara khilaf antara keduanya, maka itu termasuk perkara-perkara yang bisa kita dekatkan antara keduanya.” (Dzikrayat La Mudzakkirat hal 249-250).
Umar at-Tilmisani rahimahullah berkata dalam suatu makalah dia asy-Syi’ah Wa as-Sunnah, “Usaha penyatuan antara Syi’ah dan Sunnah merupakan kewajiban para ahli fikih zaman ini.” (Majalah ad-Da’wah al-Mishriyyah edisi 105, Juli 1985 M). Dalam kitabnya yang lain disebutkan, “Syi’ah itu suatu kelompok yang kira-kira mirip dengan empat mazhab dalam Ahlusunnah… Memang di sana ada berbagai perbedaan, akan tetapi mungkin untuk dihilangkan, seperti: nikah mut’ah, jumlah istri seorang muslim -dan itu terdapat di sebagian sekte kelompok mereka- dan lain sebagainya. Yang mana perbedaan-perbedaan tersebut tidak seharusnya menjadikan perpecahan antara Sunnah dan Syi’ah.” (Al-Mulham al-Mauhub Hasan al-Banna, Umar Tilmisani).
Berkata Dr. Muhammad al-Ghazali rahimahullah, “Betul, saya termasuk orang yang berkepentingan dalam usaha penyatuan antara mazhab-mazhab Islam. Saya selalu bekerja keras dan terus-menerus di Kairo. Saya berteman dengan Muhammad Taqy al-Qummy, Muhammad Jawad Mughniyah, dan ulama-ulama besar Syi’ah yang lain.” (Mauqif ‘Ulama al-Muslimin hal 21-23).
Bahkan tatkala gembong Syi’ah abad ini Ayatullah al-Khomeini (orang yang ‘merestui’ pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar (Karena dia merestui buku Tuhfah al-’Awaam Maqbul, as-Sayyid Mandzur Husain, yang di dalamnya terdapat doa shanamai quraisy, yang dipenuhi dengan cacian dan laknatan kepada ash-Shiddiq dan al-Faruq)) berhasil melakukan revolusi di Iran, tokoh-tokoh organisasi pergerakan ini berbondong-bondong mengucapkan selamat dan bahkan mendukung kepemimpinannya:
Berkata Al Maududi rahimahullah, “Sesungguhnya revolusi al-Khomeini adalah revolusi yang islami, dipelopori oleh jama’ah islamiyah dan para pemuda yang dididik dalam tarbiyah islamiyah di kancah pergerakan Islam. Maka seluruh kaum muslimin dan gerakan-gerakan Islam berkewajiban untuk mendukung revolusi ini dengan dukungan yang sebesar-besarnya, serta bekerjasama dengan mereka di segala aspek.” (Asy-Syaqiqani, hal 3. dan Mauqif Ulama al-Muslimin, hal 48).
Fathi Yakan rahimahullah berkata, “Dan di dalam sejarah Islam baru-baru ini, terdapat bukti atas perkataan yang kami ucapkan. Bukti itu adalah: percobaan revolusi islami yang ada di Iran; percobaan yang diperangi oleh setiap kekuatan kafir di muka bumi ini, dan masih terus diperangi, karena revolusi ini islami dan tidak memihak ke timur maupun ke barat.” (Abjadiyat at-Tashawwur al-Haraki Li al-’Amal al-Islami, hal 148).
Bahkan at-Tandzim ad-Dauly Lijama’ati al-Ikhwan al-Muslimin (Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin) telah menerbitkan memorandum yang berisi, “Dengan ini, Organisasi Internasional Kelompok Ikhwanul Muslimin menyeru setiap pemimpin organisasi pergerakan Islam di Turki, Pakistan, India, Indonesia, Afghanistan, Malaysia, Philipina dan organisasi Ikhwanul Muslimin di negeri-negeri Arab, Eropa dan Amerika untuk mengirim utusan mereka guna membentuk suatu delegasi yang akan diberangkatkan ke Teheran dengan menggunakan pesawat khusus. Dengan tujuan untuk menemui al-Imam Ayatullah al-Khomeini, dalam rangka menekankan dukungan pergerakan Islam yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin, Hizb as-Salamah Turki, al-Jama’ah al-Islamiyah di Pakistan, al-Jama’ah al-Islamiyah di India, Jama’ah Partai Masyumi di Indonesia, Angkatan Belia Islam Malaysia, al-Jama’ah al-Islamiyah di Philipina. Pertemuan itu merupakan salah satu tanda kebesaran Islam dan kemampuannya untuk mencairkan perbedaan-perbedaan ras, kebangsaan dan mazhab…” (Majalah al-Mujtama’ al-Kuwaitiyah, edisi 434, 25/2/1979).
Wahai para pembaca yang budiman, apakah perbedaan itu berhasil dicairkan dengan cara menundukkan setiap perbedaan pendapat di bawah Al Quran dan As Sunnah, atau dengan cara diam dan pura-pura cuek dengan segala macam bentuk perbedaan, entah itu klaim bahwa Al Quran tidak sempurna, pelaknatan terhadap Abu Bakar dan Umar, atau tuduhan yang dilontarkan kepada Ummul Mu’minin Aisyah bahwa dia telah berzina, serta dosa-dosa besar lainnya???!! Allahulmusta’an wa ‘alaihit tuklan…
Kedua- Barangkali ada di antara kita -setelah membaca makalah ini- semangatnya berkobar untuk menasihati orang-orang Syi’ah, entah itu di Madinah atau di kampungnya. Bisa jadi -dan itu memang sudah terjadi- tatkala kita ungkapkan fakta-fakta tersebut di atas, mereka akan menjawab, “Itu semua tidak ada dalam ajaran Syi’ah!” Kalau itu jawaban mereka apa langkah kita selanjutnya?
Perlu diketahui bersama, bahwa orang Syi’ah mempunyai suatu ‘senjata’ yang bernama taqiyyah (Silahkan lihat: Min ‘Aqaid asy-Syi’ah, Abdullah bin Muhammad as-Salafy, hal: 32-33). Salah seorang ulama kontemporer mereka mendefinisikan taqiyyah dengan perkataannya, “Taqiyyah adalah mengucapkan atau berbuat sesuatu yang tidak engkau yakini, dengan tujuan untuk melindungi diri dan harta dari marabahaya, atau agar harga dirimu terjaga.” (Asy-Syi’ah Fi al-Mizan, Muhammad Jawad Mughniyah, hal 48).
Al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi (hal 482-483) menyebutkan, ((Abu Abdilah berkata, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya 9/10 agama kita terletak di dalam taqiyyah, barang siapa yang tidak bertaqiyyah maka dia dianggap tidak mempunyai agama!!”)).
Jadi orang-orang Syi’ah menganggap bahwa taqiyyah itu hukumnya wajib. Maka kalau ada di antara mereka yang mengingkari fakta-fakta ini, ketahuilah bahwa mereka sedang bertaqiyyah alias berbohong. Wallahua’lam, semoga bermanfaat! dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan…
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajmain.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Madinah An-Nabawiyah)
Selasa, 20 Muharram 1426 H

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman al-Atsary Abdullah Zaen, Lc. (Mahasiswa S2, Universitas Islam Madinah)
Artikel www.muslim.or.id